Mohon tunggu...
Aaron Bentlee Chow
Aaron Bentlee Chow Mohon Tunggu... Siswa

-

Selanjutnya

Tutup

Roman

Fenomena HTS di Kalangan Remaja: Antara Dekat tapi Tak Terikat?

20 Mei 2025   19:30 Diperbarui: 20 Mei 2025   19:30 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah perkembangan zaman yang begitu pesat, fenomena hubungan tanpa status (HTS) menjadi semakin lazim di kalangan remaja dan dewasa muda. HTS merujuk pada kondisi ketika dua orang menjalin kedekatan secara emosional maupun fisik, namun tanpa kejelasan mengenai status hubungan mereka. Mereka dapat terlihat seperti pasangan—berkomunikasi intens, saling memperhatikan, bahkan bersikap romantis—namun ketika ditanya apakah mereka berpacaran, jawabannya sering kali mengambang. Keadaan semacam ini menimbulkan banyak pertanyaan: mengapa hubungan tanpa status semakin diminati? Apa yang mendorong remaja untuk menjalaninya?

Salah satu alasan utama mengapa hubungan HTS banyak terjadi adalah ketakutan akan komitmen. Tidak sedikit remaja yang merasa belum siap untuk menjalani hubungan serius karena berbagai alasan, seperti trauma masa lalu, pengalaman buruk dari hubungan sebelumnya, atau kekhawatiran akan kehilangan kebebasan pribadi. Mereka melihat HTS sebagai "zona aman", karena hubungan semacam ini tidak menuntut banyak hal. Di sisi lain, mereka tetap ingin mendapatkan kenyamanan emosional dari kedekatan tersebut. Dengan kata lain, mereka ingin merasa “dimiliki” tanpa harus “memiliki.”

Selain faktor emosional, perkembangan teknologi dan budaya digital turut memengaruhi pola hubungan antarindividu. Aplikasi perkenalan, media sosial, dan komunikasi daring menjadikan proses mengenal seseorang semakin cepat dan mudah. Namun, kemudahan ini kerap diiringi dengan kecenderungan untuk tidak menetapkan komitmen. Banyak yang merasa masih ingin menjajaki berbagai pilihan sebelum menetapkan hati pada satu orang. Pemikiran seperti ini menyebabkan seseorang lebih memilih HTS daripada menjalin hubungan yang memiliki arah dan tujuan jelas.

HTS juga kerap dianggap sebagai bentuk hubungan yang memberikan kebebasan. Tidak sedikit remaja yang merasa bahwa pacaran terlalu mengikat, penuh aturan, dan menimbulkan tekanan. Sementara itu, HTS memberikan kesan kedekatan yang lebih fleksibel—bisa saling peduli tanpa harus terikat dalam batasan pasangan resmi. Akan tetapi, anggapan ini sering kali menyesatkan. Dalam kenyataannya, HTS dapat menyebabkan kebingungan emosional, rasa cemas, dan ketidakpastian yang berkepanjangan. Salah satu pihak mungkin mulai berharap lebih, sementara pihak lain tetap bersikap santai. Ketimpangan harapan ini kerap kali berujung pada kekecewaan yang mendalam.

Kurangnya komunikasi yang terbuka dan jujur juga menjadi penyebab utama mengapa HTS menjadi hubungan yang membingungkan. Banyak remaja yang enggan membicarakan status hubungan mereka secara langsung karena takut kehilangan kedekatan yang telah terbangun. Namun, tanpa adanya kejelasan dan kesepakatan, hubungan cenderung berkembang secara sepihak dan tidak seimbang. Akibatnya, salah satu pihak bisa merasa tersakiti karena tidak mengetahui arah hubungan yang dijalaninya.

Tak dapat dimungkiri, pengaruh media sosial juga memberikan tekanan tersendiri. Ketika melihat teman-teman memamerkan kisah cinta yang indah di media sosial, tidak sedikit remaja yang merasa “tertinggal.” Dorongan untuk memiliki seseorang yang spesial dalam hidup mereka membuat sebagian remaja lebih memilih menjalani HTS ketimbang tidak memiliki pasangan sama sekali. Namun, keputusan semacam ini kerap kali tidak dilandasi oleh kesiapan emosional, melainkan oleh rasa takut untuk merasa berbeda atau sendiri.

Hubungan tanpa status bukan tanpa risiko. Justru karena tidak adanya komitmen dan kejelasan, HTS dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, baik secara emosional maupun psikologis. Di antaranya adalah perasaan tidak dihargai, munculnya kecemburuan yang tidak dapat diungkapkan secara terbuka, dan hilangnya rasa percaya diri. Bahkan, ketika hubungan ini berakhir, proses penyembuhannya bisa jauh lebih sulit karena tidak ada “akhir resmi” yang bisa dijadikan pegangan untuk melanjutkan hidup.

Oleh karena itu, penting bagi para remaja untuk memahami bahwa hubungan yang sehat memerlukan kejelasan, komunikasi yang terbuka, dan saling menghargai. Meskipun HTS terlihat menyenangkan di awal karena tidak ada beban komitmen, hubungan semacam ini berpotensi melukai jika tidak ditangani dengan bijak. Jangan ragu untuk mengungkapkan perasaan dan keinginan secara jujur kepada lawan bicara. Jika hubungan tersebut tidak memberikan ketenangan dan kepastian, maka ada baiknya untuk mempertimbangkan kembali apakah hubungan tersebut layak untuk dipertahankan.

Setiap individu, termasuk remaja, memiliki hak untuk dicintai dengan tulus dan dihargai secara utuh. Jangan biarkan diri terjebak dalam hubungan yang menggantung tanpa arah. Kedekatan emosional tanpa kejelasan bukanlah bentuk kasih sayang yang sehat. Maka dari itu, beranilah untuk menuntut kepastian atau melepaskan jika itu yang terbaik. Hubungan yang baik adalah hubungan yang membawa ketenangan, bukan kebingungan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun