Mohon tunggu...
Em Amir Nihat
Em Amir Nihat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Kecil-kecilan

Kunjungi saya di www.nihatera.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi | Wahai Banjir Mengapa Kamu Datang?

7 Januari 2020   18:50 Diperbarui: 7 Januari 2020   18:51 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Wahai banjir mengapa kamu datang ?
Kalau mau bertamu setidaknya bilang dong agar kami siap..

Kamu menerjang pemukiman ibukota
berlarian bagai gumpalan besar yang perkasa
Memuntahkan comberan plastik, mobil, motor, dan kepentingan manusia lainnya
Airmu pun keruh dan sepertinya kamu sedang sakit, jawablah..
Aku ingin mendengar keluh kesahmu..

Apa gara -- gara kami yang sibuk memperkosa alam dan menimbun tanah dengan aspal -- aspal
Apa gara -- gara kami yang sibuk caci maki lupa jabat tangan
Apa gara -- gara kami yang apatis dengan mengasapi langit, meludahi sampah dan mulut sepah

Saudaraku yang miskin terlunta-lunta dan mencoba bangun dari mimpi buruk, bertelanjang dada berenang mencari sisa yang ada
Semua bagian dari takdir yang harus diterima dan itu sudah cukup menguatkan

Banjir bukan milik siapa tetapi kini menjadi milik semua
Saudaraku yang kaya tertimpa walau tiap hari tidak pernah menginjak tanah
Mobilnya ada lima dan semua terendam

Kami bertanya pada angin sisa sore ini
Kapan banjir akan reda

Kami harus banyak berbenah dan mengakui salah
Kami harus bercinta dengan pepohonan, menyayangi dan menyirami mereka
Kami harus membuat saluran air yang baik agar kamu lewat dengan baik pula
Kami harus membuang sampah pada tempatnya agar kamu tidak terkena najis
Kami harus gotong royong membersihkan jalan -- jalan lorongmu
Kami harus membajakan tanggul dan bendungan
Kami harus membuat lubang biopori, sumur resapan, pavling stone, dan menggaruk sungai agar gatalmu sembuh

Muhasabah masyarakat harus menjadi kenyataan
Tiba -- tiba aku terhenyak dan dadaku sesak

Dikala kami harus bahu membahu gotong royong
Sebagian pemimpin kami dan buzzernya saling ribut menyalahkan
Banding membanding yang tiada arti
Mungkin itu salah satu sebab kemarahanmu ya wahai banjir..

Terima kasih telah mendidik kami
Ternyata memang manusia dan alam harus terus menyatu

Semoga suaraku yang sumbang dan lirih ini didengar telinga manusia yang masih punya nurani
Mari kita berbenah dan siap mencintai alam raya pertiwi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun