Wahai banjir mengapa kamu datang ?
Kalau mau bertamu setidaknya bilang dong agar kami siap..
Kamu menerjang pemukiman ibukota
berlarian bagai gumpalan besar yang perkasa
Memuntahkan comberan plastik, mobil, motor, dan kepentingan manusia lainnya
Airmu pun keruh dan sepertinya kamu sedang sakit, jawablah..
Aku ingin mendengar keluh kesahmu..
Apa gara -- gara kami yang sibuk memperkosa alam dan menimbun tanah dengan aspal -- aspal
Apa gara -- gara kami yang sibuk caci maki lupa jabat tangan
Apa gara -- gara kami yang apatis dengan mengasapi langit, meludahi sampah dan mulut sepah
Saudaraku yang miskin terlunta-lunta dan mencoba bangun dari mimpi buruk, bertelanjang dada berenang mencari sisa yang ada
Semua bagian dari takdir yang harus diterima dan itu sudah cukup menguatkan
Banjir bukan milik siapa tetapi kini menjadi milik semua
Saudaraku yang kaya tertimpa walau tiap hari tidak pernah menginjak tanah
Mobilnya ada lima dan semua terendam
Kami bertanya pada angin sisa sore ini
Kapan banjir akan reda
Kami harus banyak berbenah dan mengakui salah
Kami harus bercinta dengan pepohonan, menyayangi dan menyirami mereka
Kami harus membuat saluran air yang baik agar kamu lewat dengan baik pula
Kami harus membuang sampah pada tempatnya agar kamu tidak terkena najis
Kami harus gotong royong membersihkan jalan -- jalan lorongmu
Kami harus membajakan tanggul dan bendungan
Kami harus membuat lubang biopori, sumur resapan, pavling stone, dan menggaruk sungai agar gatalmu sembuh
Muhasabah masyarakat harus menjadi kenyataan
Tiba -- tiba aku terhenyak dan dadaku sesak
Dikala kami harus bahu membahu gotong royong
Sebagian pemimpin kami dan buzzernya saling ribut menyalahkan
Banding membanding yang tiada arti
Mungkin itu salah satu sebab kemarahanmu ya wahai banjir..
Terima kasih telah mendidik kami
Ternyata memang manusia dan alam harus terus menyatu
Semoga suaraku yang sumbang dan lirih ini didengar telinga manusia yang masih punya nurani
Mari kita berbenah dan siap mencintai alam raya pertiwi