Ojek daring atau kerap dipanggil ojek online atau ojol. Sesuatu yang sepuluh tahun lalu masih asing di telinga. Cari ojek, ya, di pangkalan, lah. Yang keberadaannya tidak selalu ada di setiap sudut kota itu.
Sampai tidak lama setelah itu, hadir aplikasi yang mendigitalkan ojek. Pengendara atau driver, (diniatkan) tidak harus mangkal. Pun, calon penumpang tidak harus datang dulu ke pangkalan-pangkalan untuk menggunakan jasanya.
Ojol tampak seperti jawaban dari mereka yang tidak memiliki kendaraan pribadi atau yang secara fisik atau mental tidak mampu berkendara. Ia juga tampak seperti jawaban dari belum datangnya offering letter dari HRD.
Namun, tidak bisa ditampik, profesi pengemudi ojol lahir dari keterbatasan yang mestinya tanggung jawab negara.
Di satu sisi, transportasi umum kita tidak pernah benar-benar hadir sebagai pilihan yang andal. Terutama di luar Jakarta, masyarakat masih bergantung pada angkot yang jarang, bus kota yang tua dan berkarat, atau kendaraan pribadi yang tidak hanya menambah sesak jalanan, tetapi juga menyesakkan anggaran rumah tangga.
Di sisi lain, lapangan pekerjaan formal makin sempit. Di situlah lalu keduanya berkombinasi, seakan menjadi solusi cepat yang mengisi ruang-ruang kosong yang dibiarkan negara.
Dulu sekali di awal kemunculannya, ojol diiklankan sebagai aplikasi untuk penghasilan sampingan. Nyatanya, kini keadaan memaksa driver menjadikannya pekerjaan utama. Tidak jarang bahkan sampai terdaftar di dua hingga tiga perusahaan.
Jika pemerintah serius tentang transportasi umum, mungkin orang tidak akan perlu pesan ojek untuk jarak 1,5 km. Jika pemerintah serius tentang lapangan kerja yang konon 19 juta itu, mungkin tidak akan ada orang yang harus menjadikan menjadi pengendara ojol sebagai penghasilan utamanya.
Kita bisa berdebat panjang soal "ekonomi digital", "startup unicorn", atau "inovasi anak bangsa". Namun, itu nanti, lah. Realitasnya, pengemudi ojol kebanyakan terjun ke pekerjaan ini bukan karena semangat teknologi, melainkan karena terdesak keadaan.
Bagi banyak orang, menjadi driver adalah pilihan terakhir: bermodal sepeda motor, gawai, dan keberanian menembus lalu lintas, mereka gadaikan itu untuk bisa bertahan hidup. Modal-modal itu bahkan seringkali bukan benar-benar miliknya. Tak jarang mereka perlu meminjam, utang, kredit, atau bahkan sewa harian yang tentunya makin mengurangi keuntungan yang didapat.
Tidak ada jaminan sosial yang memadai, tidak ada kepastian pendapatan. Status mitra, alih-alih karyawan yang tersemat pada para driver itu, dari luar terkesan kuat dan keren. Namun, kemudian justru menjadikannya memiliki posisi tawar yang lemah di hadapan perusahaan aplikasi maupun negara.
Ironi itu lalu mencapai titik pahit semalam. Affan Kurniawan, 21 tahun, salah seorang dari banyaknya driver ojol di negara ini, harus kehilangan nyawa di jalanan---di meja kerjanya. Ia wafat dilindas mobil rantis yang dikemudikan oleh Brimob, sebuah satuan di dalam institusi yang konon berslogan "polri untuk masyarakat".
Kematiannya seakan kristalisasi sempurna dari sebuah negara yang gagal memenuhi kewajiban dasar pada warga negaranya, lalu malah menggunakan kekerasan ketika warga, pemberi upah pejabatnya itu, mempertanyakan kegagalannya.
Kapolri telah meminta maaf. Itu langkah yang perlu diapresiasi. Namun, maaf saja tidak cukup. Akuntabilitas adalah hal yang dibutuhkan.
Memang, itu tidak akan menghidupkan kembali Affan. Namun, setidaknya, sebagai upaya untuk mencegah kelahiran Affan-Affan lain: mereka yang ada dari ketiadaan pilihan, hanya untuk menjadi korban berikutnya dari sensitivitas kekuasaan.
Tidak ada yang lebih ironis daripada lahir dari kekosongan negara untuk kemudian gugur di tangan yang sama. Tidak penting apakah Affan berdemonstrasi atau tidak, yang jelas ia meninggal dilindas rantis.
Ia tidak boleh hanya berhenti menjadi angka statistik yang terlupakan. Kejadian ini seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah: negara absen dalam menyediakan kehidupan yang layak, tapi justru hadir sebagai mesin yang merenggut hidup.
Tapi, ya, jika di kos-kosan, tidak jarang alarm keras membangunkan seluruh penghuni kos kecuali orang yang memerlukannya. Atau mungkin bangun, pencet snooze, snooze, stop, lalu balik tidur lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI