Mohon tunggu...
Annisa R
Annisa R Mohon Tunggu... Mungkin Mahasiswa

Belum tahu mau menulis apa.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Driver Ojol Lahir dari Kekosongan Negara, Gugur karena Kehadiran Negara

29 Agustus 2025   18:45 Diperbarui: 2 September 2025   17:30 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ojol tewas dilindas rantis, rekan-rekannya mendatangi Mako Brimob Kwitang (Sumber: Yumna/20detik).

Ojek daring atau kerap dipanggil ojek online atau ojol. Sesuatu yang sepuluh tahun lalu masih asing di telinga. Cari ojek, ya, di pangkalan, lah. Yang keberadaannya tidak selalu ada di setiap sudut kota itu.

Sampai tidak lama setelah itu, hadir aplikasi yang mendigitalkan ojek. Pengendara atau driver, (diniatkan) tidak harus mangkal. Pun, calon penumpang tidak harus datang dulu ke pangkalan-pangkalan untuk menggunakan jasanya.

Ojol tampak seperti jawaban dari mereka yang tidak memiliki kendaraan pribadi atau yang secara fisik atau mental tidak mampu berkendara. Ia juga tampak seperti jawaban dari belum datangnya offering letter dari HRD.

Namun, tidak bisa ditampik, profesi pengemudi ojol lahir dari keterbatasan yang mestinya tanggung jawab negara.

Di satu sisi, transportasi umum kita tidak pernah benar-benar hadir sebagai pilihan yang andal. Terutama di luar Jakarta, masyarakat masih bergantung pada angkot yang jarang, bus kota yang tua dan berkarat, atau kendaraan pribadi yang tidak hanya menambah sesak jalanan, tetapi juga menyesakkan anggaran rumah tangga.

Di sisi lain, lapangan pekerjaan formal makin sempit. Di situlah lalu keduanya berkombinasi, seakan menjadi solusi cepat yang mengisi ruang-ruang kosong yang dibiarkan negara.

Dulu sekali di awal kemunculannya, ojol diiklankan sebagai aplikasi untuk penghasilan sampingan. Nyatanya, kini keadaan memaksa driver menjadikannya pekerjaan utama. Tidak jarang bahkan sampai terdaftar di dua hingga tiga perusahaan.

Jika pemerintah serius tentang transportasi umum, mungkin orang tidak akan perlu pesan ojek untuk jarak 1,5 km. Jika pemerintah serius tentang lapangan kerja yang konon 19 juta itu, mungkin tidak akan ada orang yang harus menjadikan menjadi pengendara ojol sebagai penghasilan utamanya.

Kita bisa berdebat panjang soal "ekonomi digital", "startup unicorn", atau "inovasi anak bangsa". Namun, itu nanti, lah. Realitasnya, pengemudi ojol kebanyakan terjun ke pekerjaan ini bukan karena semangat teknologi, melainkan karena terdesak keadaan.

Bagi banyak orang, menjadi driver adalah pilihan terakhir: bermodal sepeda motor, gawai, dan keberanian menembus lalu lintas, mereka gadaikan itu untuk bisa bertahan hidup. Modal-modal itu bahkan seringkali bukan benar-benar miliknya. Tak jarang mereka perlu meminjam, utang, kredit, atau bahkan sewa harian yang tentunya makin mengurangi keuntungan yang didapat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun