Mohon tunggu...
A BayuSeptyanandha
A BayuSeptyanandha Mohon Tunggu... Lainnya - bekerja ding,tapi ya gitu

bipolar gue !!!!!!!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kita Selalu Ada untuk Para Penyintas Bullying

2 Juni 2022   15:20 Diperbarui: 4 Juni 2022   00:17 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

           Selain pondasi keluarga yang menjadi salah satu faktor utama munculnya indikasi bullying disetiap individu, hal itu juga berasal dari lingkup pertemanan karena bagi mereka penting ketika dalam lingkup pertemanannya ada yang disebut dengan kesetiakawanan, dan kesetiakawanan itu bisa seperti pedang bermata ganda karena bisa membentuk lingkup pertemanan yang positif atau sebaliknya. Dalam kasus ini kesetiawakanan ini digunakakn untuk melakukan hal yang buruk dengan melakukan bullying secara verbal dan fisik. Dan pengaruh negatif atau positif dalam satu kelompok  itu sangat mudah ditularkan.

            Sedangan dari setiap tindakan yang menggunakan kekerasan apapun dimata hukum akan sama tidak ada bedanya, walaupun para anak-anak ini melakukan tindak kekerasan dan mereka berada dibawah umur bukan berarti mereka bebas dari hukum. Mengutip dari website Mahkamah Agung (www.mahkamahagung.go.id) sendiri di Indonesia sendiri punya Sistem Hukum Undang-Undangan Peradilan Anak, yaitu Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA). Kemudian batasan umur anak diatur dalam ketentuan pasal 1 ayat (3) UU SPPA dengan  golongan anak yang di atas 12 Tahun – 18 Tahun anak-anak tersebut bisa dipidanakan tapi dengan syarat bila kasus ancaman pidana mereka dibawah 7 Tahun maka akan diupayakan  diversi, sedangkan proses diversi ini tidak berlaku untuk ancama pidana diatas 7 Tahun. Menurut UU SPPA Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, yang bertujuan untuk:

  1. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak.
  2. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan.
  3. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan.
  4. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan
  5. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

           Terlepas dari apa yang telah anak-anak ini jalani hingga titik ini dan terlepas dari apapun yang akan para anak-anak itu hadapi, mereka tetap bagian dari masyarakat kita yang perlu bimbingan, perlu pendampingan dan perlu edukasi. Tanggung jawab itu tidak hanya ada dipendidikan formal seperti di sekolah atau dari orang tua dan lingkungan tapi dari kita sebagai bagian masyarakat yang hidup dengan mereka. Kita patut bertanggung jawab untuk menjaga supaya generasi setelah kita bisa mencegah hal-hal buruk kepada generasi sesama atau generasi setelah mereka kelak. Bukankah kita makhluk sosial yang saling menopang satu sama lain dan saling mengulurkan tangan untuk hal-hal kebaikan? Karena kita hanya diberi satu modal gratis yang tidak akan pernah habis sampai kita mati, yaitu berbagi kebaikan kepada siapapun, kepada sesama saja kita harus berbagi dan saling jaga apalagi dengan generasi kita setelah ini.

           Memang ini seperti lingkaran setan, tapi bukan berarti kita tidak bisa mencegahnya. Karena pada dasarnya kekerasan sesama anak sudah tidak bisa dipandang sebelah mata, karena guru punya batasan metode pendisiplinan pada siswa, sisanya mereka para siswa lebih banyak dirumah dan lingkungan yang tidak bisa dikontrol setiap waktu. Maka dari itu kita sebagai masyarakat ikut bertanggung jawab untuk menjaga kondisi, sosial, dan tempat kita tumbuh.

          Bintang Al Huda dari Yayasan Setara menuturkan , ”kita tidak melindungi perbuatannya tapi melindungi hak-hak terduga pelaku, memang tindakan pelaku para siswa ini memang sangat tidak dibenarkan, tapi mereka masih punya hak untuk berpendidikan dan meraih apa yang mereka impikan. Agar hak-hak ini ditetap diberikan maka para terduga pelaku tidak bisa semena-mena lansung dikeluarkan dari sekolah, karena mengeluarkan mereka sama saja mengambil hak pendidikan mereka, salah satu solusinya mungkin para siswa tetap diberi hak pendidikannya namun dipindahkan ke tempat sekolah lain agar hak pendidikan mereka tetap terpenuhi sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak “.

          Masih menurut Bintang Al Huda, ”kita memang harus berdiri disisi korban, namun kita juga harus tau sudut pandang pelaku, dalam artian kita juga harus paham apa yang mendasari pelaku melakukan tindak bullying secara verbal ataupun fisik. Pelaku juga punya pengalaman empiris dan sudut pandang atas apa yang telah pelaku alami selama hidupnya, jadi kita harus tetap melihat dua sudut pandang” tuturnya.

          Ketika pelaku dihadapkan oleh hukum, hukum hanya menaati tatanan peradilan yang ada, padahal hukum harus menjadi obat. tetapi pada nyatanya hukum kita tidak melakukannya tapi malah terkadang menjadi judgmental karena berpatok pada sistem yang ada. Sebuah dilemma memang.

          Terlepas dari itu bukankah kita juga pernah melakukan kesalahan dan diberi kesempatan  berbenah? Mereka juga harus punya kesempatan itu. Pemerintah juga berkontribusi dalam hal ini secara penuh, mereka terus melakukan pendampingan pasca kejadian, pemerintah juga menyiapkan Psikolog  untuk korban dan pelaku dalam waktu yg diperlukan.

           Apa yang anak-anak ini lakukan bisa dikatakan sebagai pencarian eksistensi yang salah, penyalahgunaan media sosial juga tidak 100% kesalahan mereka. Mungkin saat ini hal yang bisa membantu mereka untuk kembali ke sosial adalah dengan kemanusiaan kita masing-masing kepada mereka yang membutuhkan, karena sekali lagi berbuat baik itu hal gratis dan kita tidak perlu takut kekurangan untuk berbagi kebaikan dalam hal dalam kemanusiaan.

          Kita selalu memandang dari sisi korban saja dan mungkin ini saatnya kita berdiri dikedua sisi agar bisa menjaga keseimbangan ke sesama karena orientasi kita harus ke pencegahan, itu mengapa mulai dari sekarang kita harus melihat dua sisi terlebih dahulu.

         Di luar itu pemerintah jelas wajib berkontribusi dalam hal pencegahan ini karena mungkin bila dipikir dengan logika, biaya untuk  melakukan pencegahan itu lebih murah dibandingankan dengan biaya untuk penangan setelah kejadian. Atau sebaliknya kita juga tidak tau, yang jelas masalah kemanusian adalah urusan kita Bersama.

Saling Jaga.

--- A. Bayu Septyanandha ---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun