Raka menatap langit senja. Warna jingga dan merah perlahan mulai memudar, digantikan oleh semburat ungu yang menandai malam akan turun. Di sela awan, cahaya matahari terakhir tampak seperti jendela kecil menuju sesuatu yang lebih besar dari dunia ini.
"Ayah..." bisiknya, "Maafkan aku. Maafkan aku karena membuat malam itu menjadi malam terakhir kita. Aku rindu. Aku ingin pulang, tapi aku tak tahu bagaimana. Aku terlalu pengecut."
Angin berhembus lembut, seperti belaian.
Ibu menggenggam tangannya. "Kau telah pulang, Nak. Dan itu sudah cukup."
Mereka duduk dalam diam cukup lama. Hanya suara dedaunan dan gesekan serangga malam yang mulai muncul perlahan. Raka merasa seolah waktu berhenti, seolah alam pun memberi ruang bagi keduanya untuk menyembuhkan luka yang telah menganga terlalu lama.
"Apa Ibu kesepian selama ini?" tanya Raka.
Ibu tersenyum samar. "Kesepian itu bukan karena sendiri, Nak. Tapi karena kehilangan yang belum selesai. Sekarang... mungkin aku bisa berdamai."
Raka memeluk ibunya lagi. Kali ini lebih erat.
"Biarkan aku tinggal, Bu. Menebus semua waktu yang hilang."
Ibu mengangguk. "Rumah ini selalu terbuka untukmu. Tidak peduli berapa lama kau pergi."
Langit di ujung senja itu menyimpan banyak hal,penyesalan, air mata, juga harapan baru. Di tengah gelap yang datang perlahan, cahaya rumah itu tetap menyala hangat. Dan untuk pertama kalinya setelah delapan tahun, Raka merasa... ia pulang.