Ia terisak. Tubuhnya gemetar.
Ibu melangkah pelan, lalu memeluknya. Pelukan yang hangat, meski tubuh itu sudah ringkih. "Aku tidak pernah membencimu. Tak sekalipun."
Raka balas memeluk, erat,seakan ia tak akan pernah melepas lagi.
Mereka duduk di bangku kayu tua di teras, tempat ayahnya biasa duduk menikmati teh pahit sambil membaca koran. Tempat di mana semua kisah keluarganya dulu dimulai... dan berakhir.
"Setiap sore Ibu duduk di sini," kata ibunya lirih. "Melihat langit. Menunggu kabar. Kadang berharap kau muncul dari jalan setapak itu. Kadang hanya diam... karena takut berharap terlalu banyak."
Raka terdiam. Dadanya sesak.
"Malam itu," lanjut ibu, "saat kau pergi... aku menangis semalaman. Aku tahu hatimu hancur. Aku tahu kau menyalahkan dirimu atas kecelakaan Ayah."
Raka mengepalkan tangannya. "Kalau saja aku tak mengajak Ayah malam itu... kalau saja aku tak memaksa dia menyetir ke kota..."
"Ia pergi karena takdir, Raka. Bukan karena kamu." Ibu menatapnya. "Dia menyayangimu. Dia marah malam itu, iya. Tapi bukan benci. Kau anaknya, satu-satunya. Dia akan memaafkanmu bahkan sebelum kau meminta maaf."
Raka menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Tapi aku tak pernah sempat minta maaf..."
Ibu mengusap bahunya. "Maka minta maaflah sekarang. Bicaralah pada langit itu, karena mungkin Ayah sedang mendengar."