Berbeda dari kebanyakan orang yang meminta perhiasan atau barang-barang mewah untuk seserahan, saya justru meminta buku. Calon suami menyanggupi asalkan saya memberi petunjuk tentang buku yang sedang saya inginkan.
Ya, perkara buku apa yang harus dibeli itu lumayan penting. Bukan maksud mengkerdilkan genre buku tertentu tapi biar lebih tepat saja. Pasalnya ungkapan so many books, so little time itu nyata adanya. Terlalu banyak buku yang mengantri untuk dibaca jadi akan lebih baik memilih genre yang sesuai.
Saya pun kala itu juga berpikir, buku apa ya yang harus saya minta? Beberapa bulan sebelumnya ketika saya berulang tahun, ia mengirimi sebuah buku yang sulit dicari versi barunya. Judulnya "Plong" karya Putu Wijaya. Ia tahu saya sedang mencari buku itu dan ia berhasil mendapatkannya meski kondisinya second hand.
Karena saat itu saya sedang senang dengan buku Catatan Pinggir (Caping) dari Goenawan Mohamad dan buku ini termasuk langka di tahun 2015, maka saya pun memutuskan untuk memintanya. "Saya sedang mencari Caping, Catatan Pinggir" kata saya.
Di rumah sendiri sudah ada 2 seri Caping. No. 4 yang saya beli dari salah satu buku online Jogja dan No. 3 yang saya dapat dari salah seorang kawan. Saya sendiri tak menyebut bahwa ia harus melengkapi serinya. Berapapun yang dia kasih, dengan bahagia akan saya terima!
Rupanya suami berhasil mendapat 5 seri lain dari dua tempat yang berbeda, 3 seri (1,5,10) dari toko Tempo sementara 2 lainnya (6 dan 7) dari toko buku online di daerah Jogja.
Di hari H pernikahan, saya melihat buku-buku itu ada dalam satu kontak di antara seserahan yang lain. Tentu saja kotak itu jauh lebih berat. Bagaimana tidak, isinya 5 buku yang lumayan tebal.
Sejak itu jumlah Caping yang saya miliki menjadi 7 buah, No 1,3,4,5,6,7 dan 10. No. 2, 8 dan 9 memang belum ia dapatkan. Ketika ia berusaha menggenapi, saya malah melarangnya.
"Nanti saja," kata saya. Ini buku tak hanya berat secara kuantiti tapi juga secara isi, akan butuh waktu lama untuk menamatkannya. Jadi tak usah buru-buru membelinya, pikir saya kala itu!Â
Eee... ternyata sampai sekarang ketiga seri itu belum juga kami beli. Mungkin setelah tulisan ini terbit ia akan teringat dengan kekurangan ketiga seri itu dan segera melengkapinya.
Bagi saya sendiri tak masalah kalau belum lengkap, toh jumlah pendingan bacaan dan buku baru saya masih banyak. Sabar saja, nanti juga lengkap dengan sendirinya.
Mengapa harus buku? Mungkin itu menjadi pertanyaan kebanyakan orang. Sebenarnya itu bukan sekadar kebutuhan akan judul yang saya inginkan saja. Bagi saya dengan adanya seserahan buku, itu artinya ia menerima dan mengetahui bahwa saya menyukai buku-buku dan akan banyak membeli buku-buku dalam perjalanan kehidupan kami nantinya.
Ketika suami menyanggupi, saya artikan bahwa ia tidak keberatan dengan itu dan siap mendukung aktivitas literasi saya di masa depan.
Ya, mungkin bagi sebagian orang hal semacam ini tak perlu divalidasi plus dimasukkan sebagai seserahan segala! Tapi biarlah, namanya orang seleranya sendiri-sendiri. Saya ingin menegaskan kepada calon saya, keluarga saya, keluarga dia dan semua orang yang hadir bahwa hidup saya dekat sekali dengan buku.
Jadi jangan sampai ya suatu saat ada yang julid ketika saya membeli banyak buku-buku! he.
Di jaman ini sudah mulai banyak pasangan memilih seserahan yang unik seperti contohnya, kucing, anjing dan yang seperti yang saya minta tadi, buku. Menurut saya hal ini sah-sah saja dan wajar-wajar saja. Kita tidak selalu harus menuruti standar orang lain.
Justru saya berpikir bahwa seserahan bisa saja sesuatu yang mengkonfirmasi kesukaan dari keduanya. Bisa saja kamu memberi gitar karena pasanganmu suka bermain gitar. Bisa juga barang-barang sederhana yang tidak perlu dibeli dengan harga mahal tapi butuh effort yang besar.
Saya melihat seserahan sebagai bentuk perhatian pasangan untuk tahu apa yang pasangannya sukai. Benda apa atau hal apa yang selama ini melekat di hidup si pasangan dari jauh sebelum mereka saling mengenal. Itu juga berarti keduanya sepakat untuk menerima itu, membiarkan benda itu ada dalam hidup mereka di kedepannya.
Beda orang bisa jadi beda cerita. Bahkan di beberapa daerah masih ada yang melihat seserahan dari sisi nominal. Contoh di daerah Pati Jawa Tengah, seserahan berupa sapi dan mobil sudah menjadi pemandangan biasa. Ada juga berita dari daerah Kuningan Jawa Barat di mana si lelaki memberikan seserahan isi rumah yang kalau ditotal-total jumlahnya hampir setara dengan 1 Miliar.
Beberapa daerah memang masih menganggap seserahan adalah kebanggaan. Semakin besar nilainya semakin bangga si pemberi maupun si penerimanya. Meski begitu beberapa orang merasa hal-hal semacam itu cukup memberatkan apalagi kalau si lelaki berada dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan.
Beberapa orang juga menjadikan seserahan sebagai tolak ukur keseriusan, semacam "kalau memang serius ya seharusnya diusahakan." Atau lebih jauh seperti, "kalau segitu saja tidak mampu bagaimana akan menghidupi anak saya kelak." Ya kurang lebih semacam itu.
Ya kalau saya, dengan meminta buku Caping yang kala itu jumlah peredarannya tidak banyak saja sudah jadi bukti keseriusan. Suami harus meluangkan waktu dan menggunakan relasi untuk dapat info di mana buku-buku itu berada. Sementara dia sendiri awam soal buku-buku dan jarang membeli buku.
Kalau mau lebih serius bisa saja kan saya meminta buku-buku langka yang sudah berhenti diterbitkan atau kalau mau lebih ekstrim, saya bisa meminta buku-buku yang dilarang oleh pemerintah, eh.
Tidak semua buku mudah ditemukan atau ada cetakan barunya. Buku "Aku" karya Sjuman Djaya dalam adegan AADC 1 misal. Seperti yang diceritakan dalam film, di tahun itu memang sulit mendapatkan versi barunya. Barulah sejak AADC tayang, popularitas buku Aku juga semakin naik dan semakin mudah ditemukan.
Tulisan ini cuma sebuah cerita kecil yang siapa tahu bisa menjadi inspirasi bagi mereka yang mau menikah. Jadi, sebelum memilih seserahan, coba pikirkan: benda apa yang meski sederhana tapi berarti besar bagi pasanganmu? Seserahan adalah tentang memahami dan merayakan apa yang paling melekat dalam hidupnya---bukan sekadar mengikuti standar orang lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI