Aku ingin setiap hari turun hujan. Panas matahari belakangan terasa tak karuan. Aku jadi enggan keluar rumah atau melakukan suatu perjalanan. Banyak hal yang membuatku menginginkan hujan setiap hari, kalau perlu sepanjang hari bahkan sepanjang waktu.
Ketika dewasa aku berhasil menemukan sebuah rumus lucu, bahwa ternyata hujan bisa menjadi tempat terbaik untuk menyembunyikan diri. Banyak hal yang membuatku ingin bersembunyi, suara ghibahan tetangga, ajakan seseorang ke suatu tempat yang tak kusukai tapi tak tahu bagaimana cara menolaknya, aktivitas-aktivitas di luar rumah yang menguras energi dan ya itu tadi, panasnya matahari.
Baru kali ini aku melihat hujan sebagai tempat terbaik untuk bersembunyi. Kalau ingin membatalkan janji aku tinggal bilang "lagi hujan". Kalau ingin bermalas-malasan aku bisa bilang "lagi hujan". Padahal mungkin saja aku  hanya malas dan tak ingin pergi.
Hujan membuatku sibuk berdiam diri, berguling-guling sembari melamunkan hal-hal remeh di kasur. Terkadang ia mengajakku makan Indomie plus telur dan irisan cabai. Hujan membuat menu sederhana itu menjadi istimewa. Ini mengajariku bahwa makanan enak itu tak hanya soal rasa tapi juga soal ketepatan waktu.
Aku suka kalau hujan sudah menyentuh tanah karena beberapa detik setelahnya akan timbul aroma yang membuatku tenang. Aroma tanah basah seperti  sebuah harapan, bahwa bumi ini masih layak kutinggali. Suara tetesan air seolah menjamin bahwa hidupku kedepannya akan baik-baik saja.
Hujan membuat suasana rumahku menjadi lebih dingin, maka itu aku tak perlu menyalakan kipas angin. Di luar suara tetesan hujan terdengar riuh tapi itu justru membuat suasana di dalam rumahku menjadi tenang. Kucing-kucingku akan tidur. Tak ada tetangga yang datang untuk meminta tolong sesuatu pula tukang paket yang mengantarkan pesananku.
Semua orang takut hujan, sementara aku sedang takut orang. Hujan menyelamatkanku dari orang-orang. Seperti sebuah tirai, ia melindungiku dari orang-orang yang hendak datang.
Dulu ketika kecil aku tak suka hujan. Ia lebih seperti penghalang. Aku tak bisa bermain ke luar rumah, memanjat pohon atau berlarian di depan langgar ketika mengaji di sore hari. Hujan kala itu lebih seperti ibuku yang suka mengomel, ini tak boleh, itu tak boleh.
Tapi aku sudah besar sekarang dan aku mulai menyukai hujan. Aku sadar tak sebaiknya aku memusuhi hujan. Aku justru suka berkawan dengannya. Ia memberiku kesempatan untuk menenangkan diri. Dengannya aku bisa membaca dengan lebih khusyuk atau menulis dengan lebih tenang.
Karena itulah aku ingin setiap hari turun hujan. Mungkin karena banyak hari yang perlu kuselamatkan.
Ini mungkin akan terdengar menyebalkan bagi kamu yang harus pergi bekerja ke luar rumah. Hujan akan menyulitkanmu. Baju, rambut, sepatumu -yang hanya sepasang itu- mungkin akan basah dan itu sedikit merepotkan.Â
Tapi di luar itu aku tahu kamu juga menyukai hujan terutama ketika ia memberimu kesejukan. Kesejukan itu akan menghiburmu dari pekerjaan dan rutinitas yang membosankan. Malah terkadang itu menyelamatkanmu dari suara-suara panas atasan.
Aku tahu itu menyebalkan tapi bagaimana kalau kamu mulai berpikir untuk menerimanya, bahwa segala sesuatu tidak pernah datang sendirian? Bahwa di balik kesejukan yang kamu dapatkan, ada harga yang harus kamu bayar, yaitu sepatumu yang basah.
Aku tahu beberapa kalian juga akan mengumpat, terlebih ketika air hujan mengantri untuk masuk ke tanah melalui rumahmu. Tapi sadarlah, itu bukan salah hujan. Itu bukan salah hujan! Â Coba pikir lagi, benarkah itu salah hujan?
Ya, pada intinya aku mau setiap hari turun hujan. Aku akan menganggapnya sebagai liburan. Tanpa gangguan, tanpa tuntutan. Hanya ada aku dan hal-hal yang kuanggap menyenangkan. Kuharap setiap hari akan turun hujan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI