Perjalanan dari Bandara Sentani menuju Kota Jayapura kurang lebih memakan waktu dua jam, tapi sepanjang penjalanan gue disuguhi pemandangan perbukitan karst dan kilauan cahaya danau Sentani, seolah merajuk mengajak untuk merasakan damainya alunan air danau.
Tidak ubahnya laksana tukang sulap, Papua menyuguhkan kejutan-kejutan manis, dari pasar "mama Papua" yang berada sepanjang perjalanan dengan menjual beragam hasil bumi tanah Papua, dan paling utama adalah buah Pinang, khas Papua. Masyarakat Papua sudah menjadikan tradisi mengunyah buah pinang sebagai antibodi dari serangan penyakit malaria dan kerap juga dipakai untuk menghindari penyakit mulut.Â
Apapun itu peran positif yang dirasakan oleh masyarakat papua, tradisi mengunyah buah pinang masing meninggalkan efek kurang baik, yaitu kebiasaan meludah ampas pinang, maka tidak heran kalo sepanjang jalan ada warna Orange-merah marun bekas ludah pinang (sebelumnya gue pikir bekas ceceran cat kayu hahahaha).
Warganya yang ternyata sangat heterogen, terdiri dari beragam latar belakang suku. Mungkin inilah hasil dari proses Transmigrasi penduduk Indonesia betapa gue merasa berada di kultur masyarakat kota-kota metropolitan lainnya. Suku madura, Ambon, Jakarta, Cina, Sasak, Bima, Palembang, Wamena, Biak, dan masih banyak lagi bercampur baur menjadi satu kesatuan penduduk kota yang hidup secara damai, penuh toleransi, dan guyub.
Hal unik yang lu harus tahu klo mengunjungi Papua adalah setiap hari Minggu masyarakat yang dominan beragama Kristen menunaikan kewajiban ibadah mingguan, dan setiap sudut kota diwajikan untuk memberhentikan aktivitas ekonomi hingga pukul 12 siang. Artinya kalo untuk sarapan pagi lebih baik masak sendiri di rumah, atau memilih puasa hingga jam 12 (puasa setengah hari bro hahahaha).
Karena jujur gue sudah kena zonk hari minggu ini hingga 3 minggu (mungkin gara-gara ritme kultur kehidupan gue saat di Jakarta).