Ucapan itu seperti pisau menusuk telinga Karim. Ia merasa ustaz itu sedang menelanjangi dirinya. Wajahnya panas, tapi ia tetap tersenyum pura-pura, seolah tak tersindir.
Namun malam itu, Karim gelisah. Tidurnya tidak nyenyak. Bayangan banjir, wajah-wajah warga yang menderita, dan kata-kata ustaz terus menghantui. Ia sadar bahwa selama ini dirinya hanya hidup dengan topeng. Tapi egonya menahan: ia terlalu gengsi untuk mengaku salah.
Beberapa hari kemudian, banjir susulan datang lebih besar dari sebelumnya. Rumah Karim ikut terendam hingga rata atap. Ia berteriak minta tolong, namun warga sibuk menyelamatkan diri masing-masing. Anehnya, justru Hasan yang datang dengan perahu kecil menjemputnya.
"Cepat naik, Bang!" seru Hasan, tangannya terulur.
Dengan wajah pucat, Karim meraih tangan itu. Air mata menetes, bukan karena takut, melainkan karena hatinya baru tersentuh. Untuk pertama kalinya ia merasa malu, sebab orang yang selama ini ia anggap remeh justru yang menolong nyawanya.
Setelah bencana reda, Karim duduk lama di surau, sendirian. Ia menatap sajadah yang basah oleh lumpur, lalu berbisik lirih, "Ya Allah, selama ini aku munafik. Hatiku keras seperti batu. Ampunilah aku, dan beri aku keberanian untuk berubah."
Sejak saat itu, warga melihat perubahan pada Karim. Ia tidak lagi banyak bicara soal agama, tetapi mulai bekerja dengan tulus. Senyum ramahnya kini tak lagi sekadar topeng, melainkan cermin dari hati yang sedang belajar ikhlas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI