topeng di balik Senyum
Di sebuah desa kecil yang damai, hiduplah seorang lelaki bernama Karim. Dari luar, Karim tampak seperti orang baik: wajahnya ramah, tutur katanya halus, dan ia selalu terlihat paling rajin berada di surau. Setiap kali ada kegiatan gotong royong, ia muncul di barisan depan, seolah menjadi teladan bagi warga. Namun di balik semua itu, tersembunyi hati yang keras dan penuh kepalsuan.
Karim dikenal suka menegur orang lain yang lalai beribadah. "Shalat jangan ditunda, nanti azab Allah menimpa," katanya dengan suara lantang. Tapi sesungguhnya, ia sendiri sering meninggalkan shalat di rumah ketika tidak ada yang melihat. Ia hanya rajin beribadah jika ada orang banyak di sekitarnya. Saat pintu tertutup, ia kembali larut dalam dunia malas dan egoisnya.
Suatu hari, desa mereka dilanda musibah banjir bandang. Banyak rumah hanyut, sawah rusak, dan warga kehilangan harta benda. Saat warga sibuk saling membantu, Karim berdiri dengan wajah serius, mengangkat tangan tinggi-tinggi di depan umum. "Mari kita bersabar. Jangan lupa perbanyak doa," katanya seolah paling tabah. Semua orang mengangguk, terharu mendengar nasihatnya. Namun begitu malam tiba, ia hanya peduli pada keselamatan hartanya sendiri. Ia menyembunyikan barang-barang berharga di loteng rumah tanpa peduli tetangga yang kehilangan tempat tinggal.
Di sisi lain, ada seorang pemuda bernama Hasan. Ia tidak banyak bicara, tidak menonjolkan diri, dan kerap dianggap biasa saja. Namun ketika musibah melanda, dialah yang paling sigap menolong. Ia mengangkat karung beras untuk warga, menyelamatkan anak-anak yang terjebak, dan membantu membersihkan surau yang kotor karena lumpur. Hasan tidak pernah berteriak soal sabar atau tawakal, tapi ia melakukannya dengan perbuatan nyata.
Warga mulai menyadari perbedaan itu. "Heran, Karim selalu bicara tentang iman, tapi kenapa justru Hasan yang bekerja paling keras?" bisik seorang ibu. Namun mereka tetap diam, sebab Karim pandai menutupinya dengan kata-kata manis.
Malam itu, Hasan mendatangi rumah Karim. "Bang, ada beberapa keluarga yang kehilangan rumah. Mungkin kita bisa membuka ruang tamu Abang untuk mereka menginap sementara."
Karim tersenyum tipis. "Wah, maaf, rumah saya sempit. Tidak ada tempat. Lebih baik mereka ke balai desa saja."
Hasan menunduk, menahan kecewa. Ia tahu alasan itu hanya dalih. Rumah Karim cukup besar, tetapi hatinya yang sempit.
Hari-hari berlalu, dan warga makin melihat kepalsuan Karim. Saat bantuan datang dari kota, Karim mengusulkan agar ia yang membagikannya. "Saya tahu siapa yang paling membutuhkan," katanya. Tetapi yang terjadi, ia menyimpan sebagian untuk dirinya sendiri.
Sampai suatu ketika, surau desa mengadakan pertemuan besar. Seorang ustaz tamu datang dan berbicara lantang. "Munafik adalah mereka yang berbeda antara ucapan dan perbuatannya. Mereka mengaku beriman, tetapi hatinya kosong. Dan tanda orang keras hati adalah ketika melihat penderitaan orang lain, ia tidak tergugah sedikit pun."
Ucapan itu seperti pisau menusuk telinga Karim. Ia merasa ustaz itu sedang menelanjangi dirinya. Wajahnya panas, tapi ia tetap tersenyum pura-pura, seolah tak tersindir.
Namun malam itu, Karim gelisah. Tidurnya tidak nyenyak. Bayangan banjir, wajah-wajah warga yang menderita, dan kata-kata ustaz terus menghantui. Ia sadar bahwa selama ini dirinya hanya hidup dengan topeng. Tapi egonya menahan: ia terlalu gengsi untuk mengaku salah.
Beberapa hari kemudian, banjir susulan datang lebih besar dari sebelumnya. Rumah Karim ikut terendam hingga rata atap. Ia berteriak minta tolong, namun warga sibuk menyelamatkan diri masing-masing. Anehnya, justru Hasan yang datang dengan perahu kecil menjemputnya.
"Cepat naik, Bang!" seru Hasan, tangannya terulur.
Dengan wajah pucat, Karim meraih tangan itu. Air mata menetes, bukan karena takut, melainkan karena hatinya baru tersentuh. Untuk pertama kalinya ia merasa malu, sebab orang yang selama ini ia anggap remeh justru yang menolong nyawanya.
Setelah bencana reda, Karim duduk lama di surau, sendirian. Ia menatap sajadah yang basah oleh lumpur, lalu berbisik lirih, "Ya Allah, selama ini aku munafik. Hatiku keras seperti batu. Ampunilah aku, dan beri aku keberanian untuk berubah."
Sejak saat itu, warga melihat perubahan pada Karim. Ia tidak lagi banyak bicara soal agama, tetapi mulai bekerja dengan tulus. Senyum ramahnya kini tak lagi sekadar topeng, melainkan cermin dari hati yang sedang belajar ikhlas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI