Seno,
Hari ini aku berenang. Tidak untuk olahraga, tidak juga untuk menyegarkan badan. Aku berenang untuk mengambang. Untuk membiarkan tubuhku terapung di air, seperti hatiku yang sudah lama terapung-apung tanpa arah.
Tubuhku ringan, tapi dadaku berat. Namamu datang tanpa aba-aba, seperti hujan yang tiba-tiba hadir, menembus jendela yang lupa ku tutup. Aku mencoba belajar melepaskan mu, Sen. Tapi jujur, rasanya... seperti sakaratul maut.
Melepaskan mu seolah merobek nyawa sendiri.
Tidak ada darah, tidak ada luka yang tampak, tapi seluruh rongga dadaku menjerit pelan. Sakitnya tak bisa kulihat, tak bisa ku jelaskan, tapi aku tahu itu nyata.
Ironisnya, aku melepaskan sesuatu yang bahkan tak pernah ku genggam.
Bagaimana bisa aku merasa kehilangan sesuatu yang tak pernah jadi milikku?
Mungkin jawabannya sederhana: cinta tidak mengenal logika. Ia hanya datang, tumbuh, lalu menuntut ruang.
Tapi di sinilah aku belajar: cinta memang tidak memiliki batas pada rasanya. Rasa bisa terus hidup, liar, bahkan setelah semua pintu tertutup. Tapi cinta punya batas pada ruang hidup.
Ada takdir, ada komitmen, ada dunia orang lain yang tidak bisa ku intervensi hanya karena aku ingin.
Dan kedewasaan, aku rasa, bukan soal mengendalikan rasa. Kedewasaan adalah saat kita sadar: apa yang kita inginkan tidak selalu harus kita miliki.