Mohon tunggu...
rennnhahahahahahahaha
rennnhahahahahahahaha Mohon Tunggu... Pelajar

electronic diary :V

Selanjutnya

Tutup

Seni

Diary: Ini Aku, Sampai Sekarang Pasca Balik dari Bali dan masih Dengerin Lagu Klasik

27 Juli 2025   23:44 Diperbarui: 27 Juli 2025   23:44 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seni. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini, 27 Juli 2025. Dua minggu lebih setelah gue pulang dari Bali, tapi... sampai sekarang, gue masih dengerin lagu klasik. Bukan cuma karena suka, tapi karena lagu-lagu itu seolah punya "jiwa"---menggema dalam hati gue yang kangen banget sama atmosfer Bali, Denpasar, dan segala aura khas Pulau Dewata. Gue bukan orang yang bisa cepat lupa. Setiap lantunan, setiap instrumen, kayak punya pintunya sendiri yang langsung nganterin gue kembali ke tempat-tempat yang gue cintai.

Lagu klasik favorit gue?
Gampang. Jawabannya: Symphony no. 40 in G Minor, 1st Movement karya Wolfgang Amadeus Mozart. Tapi bukan versi biasa. Gue dengernya yang udah diaransemen ulang jadi berirama marching drum band---cepat, dinamis, tegas, tapi tetap elegan. Tempo nya itu loh, udah kayak marching band militeran, marching band akademi TNI, marching bintara-tamtama, bahkan kayak marching praja mahasiswa sekolah kedinasan yang didirikan Mendagri. Tatanan ritmisnya rapi banget, berbaris kayak parade kehormatan, tapi tetap dibalut oleh orkestra yang megah.

Dan kenapa gue bilang iramanya Balinese x Moluccan? Karena ada bagian biolanya yang, sumpah demi langit, persis banget kayak lantunan dari tari Kecak Ramayana. Bagian "sir yang ger yang ger", "nang neng ning nong", dan "cak cak cak" itu terasa banget di dalam dentingan dawai. Konon katanya, tari Kecak Ramayana itu memang menirukan suara gamelan dan suara kera Bali. Makanya ketika denger lagu ini, gue seolah dipanggil balik ke alam Denpasar. Sunyi, hangat, magis.
Dan iya, info: versi aransemen ulang Mozart ini bisa kamu temuin di channel YouTube kayak Berliner Philharmoniker, dan lain-lain.

Gue masih gak bisa move on dari Bali. Bahkan rencananya, menjelang akhir tahun 2025, gue mau balik lagi ke Denpasar bareng sepupu dari pihak bokap gue---plus teman-teman gue juga. Tujuannya? Healing, sob. Penyembuhan batin.

Tapi nggak cuma Mozart yang gue dengerin.

  • Spring / La Primavera karya Antonio Vivaldi
    Ini juga jadi playlist utama gue. Denger lagu ini, rasanya langsung nostalgia ke tanah Batak. Kenapa? Karena birama 2/4 dan ada bagian violin trill yang trill banget---kayak lagu-lagu pesta adat Batak. Bener-bener mirip sama tortor. Gue langsung spontan manortor, dan tiap kali lagu ini mengalun, gue keinget Medan. Gue jadi rindu Hotel Grand Inna Medan. Terakhir ke sana tuh Agustus 2019, pas gue masih kelas 5 SD. Dengerin Vivaldi, rasanya kayak naik kereta api dari Kualanamu ke tengah kota Medan, nginap di hotel, terus diajak makan BPK dan saksang sama tulang dan namboru. 

    • Hungarian Dance no. 5
      Sama-sama birama 2/4, tapi nadanya beda. Ini bukan Batak. Irama campuran: Sunda x Minang x North Sumatra x Mollucan Melody. Asli, ini lagu bikin kaki lo gerak sendiri. Ada unsur gondang-nya, tapi juga dikasih sentuhan kecapi, talempong, sampai gong Ambon. Campurannya unik tapi indah.

    • Heigh Ho (OST Snow White & The Seven Dwarfs)
      Tapi sekarang, gue ngerasain auranya beda. Ada nuansa Malay Moluccan (Ambon, Tual, Kei) dan juga Filipino melody. Bukan cuma vokalnya, tapi juga dari beat dan harmonisasinya. Kayak nyanyian nelayan pulang ke pantai saat senja. Damai dan bersahabat.

- It's A Small World (OST Disney)

Kalau ini, kaya banget! Bayangin campuran Dayak Banjarmasin x NTT x Sunda x Minahasa. Sungguh dunia kecil yang penuh warna. 

Setiap kali lagu ini terdengar, gue bisa ngebayangin anak-anak Dayak nari di tengah sungai Mahakam, ditemani angin Larantuka dan aroma tanah Minahasa.

Coming soon!

Ntar lagi, gue ikutan lomba orgel. Lagu yang bakal gue mainin?

Rondo Alla Turca alias Turkish March!

Tapi dengan sentuhan khas: irama Minahasa x Dayak Kalimantan Barat x NTT x Papua.

Versi ini punya aura yang sangat lokal tapi megah. Setiap ketukan, serasa menyatu dengan gerakan warga lokal Papua---dari Kotaraja, Timika, Wasior, Wamena, Merauke, Yobe Abepura---yang menari adat secara gesit dan lincah.

Ada rasa semangat dan rasa haru juga. Apalagi pas masuk bagian allegro vivace---serasa napas dan tanah Papua menyatu dalam setiap nada.

Gue gak akan pernah berhenti dengerin lagu klasik. Karena di situ, ada kisah, ada tanah, ada napas nenek moyang. Dan... ada gue.
Karena musik klasik, dengan aransemen daerah dan tempo yang kaya, bikin gue tetap jadi diri gue sendiri.
Entah itu di Denpasar, Medan, Tual, Minahasa, atau Merauke.

Sampai nanti, Bali. Tunggu aku.
Z.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun