Hari ini, 27 Juli 2025. Dua minggu lebih setelah gue pulang dari Bali, tapi... sampai sekarang, gue masih dengerin lagu klasik. Bukan cuma karena suka, tapi karena lagu-lagu itu seolah punya "jiwa"---menggema dalam hati gue yang kangen banget sama atmosfer Bali, Denpasar, dan segala aura khas Pulau Dewata. Gue bukan orang yang bisa cepat lupa. Setiap lantunan, setiap instrumen, kayak punya pintunya sendiri yang langsung nganterin gue kembali ke tempat-tempat yang gue cintai.
Lagu klasik favorit gue?
Gampang. Jawabannya: Symphony no. 40 in G Minor, 1st Movement karya Wolfgang Amadeus Mozart. Tapi bukan versi biasa. Gue dengernya yang udah diaransemen ulang jadi berirama marching drum band---cepat, dinamis, tegas, tapi tetap elegan. Tempo nya itu loh, udah kayak marching band militeran, marching band akademi TNI, marching bintara-tamtama, bahkan kayak marching praja mahasiswa sekolah kedinasan yang didirikan Mendagri. Tatanan ritmisnya rapi banget, berbaris kayak parade kehormatan, tapi tetap dibalut oleh orkestra yang megah.
Dan kenapa gue bilang iramanya Balinese x Moluccan? Karena ada bagian biolanya yang, sumpah demi langit, persis banget kayak lantunan dari tari Kecak Ramayana. Bagian "sir yang ger yang ger", "nang neng ning nong", dan "cak cak cak" itu terasa banget di dalam dentingan dawai. Konon katanya, tari Kecak Ramayana itu memang menirukan suara gamelan dan suara kera Bali. Makanya ketika denger lagu ini, gue seolah dipanggil balik ke alam Denpasar. Sunyi, hangat, magis.
Dan iya, info: versi aransemen ulang Mozart ini bisa kamu temuin di channel YouTube kayak Berliner Philharmoniker, dan lain-lain.
Gue masih gak bisa move on dari Bali. Bahkan rencananya, menjelang akhir tahun 2025, gue mau balik lagi ke Denpasar bareng sepupu dari pihak bokap gue---plus teman-teman gue juga. Tujuannya? Healing, sob. Penyembuhan batin.
Tapi nggak cuma Mozart yang gue dengerin.
Spring / La Primavera karya Antonio Vivaldi
Ini juga jadi playlist utama gue. Denger lagu ini, rasanya langsung nostalgia ke tanah Batak. Kenapa? Karena birama 2/4 dan ada bagian violin trill yang trill banget---kayak lagu-lagu pesta adat Batak. Bener-bener mirip sama tortor. Gue langsung spontan manortor, dan tiap kali lagu ini mengalun, gue keinget Medan. Gue jadi rindu Hotel Grand Inna Medan. Terakhir ke sana tuh Agustus 2019, pas gue masih kelas 5 SD. Dengerin Vivaldi, rasanya kayak naik kereta api dari Kualanamu ke tengah kota Medan, nginap di hotel, terus diajak makan BPK dan saksang sama tulang dan namboru.ÂHungarian Dance no. 5
Sama-sama birama 2/4, tapi nadanya beda. Ini bukan Batak. Irama campuran: Sunda x Minang x North Sumatra x Mollucan Melody. Asli, ini lagu bikin kaki lo gerak sendiri. Ada unsur gondang-nya, tapi juga dikasih sentuhan kecapi, talempong, sampai gong Ambon. Campurannya unik tapi indah.Heigh Ho (OST Snow White & The Seven Dwarfs)
Tapi sekarang, gue ngerasain auranya beda. Ada nuansa Malay Moluccan (Ambon, Tual, Kei) dan juga Filipino melody. Bukan cuma vokalnya, tapi juga dari beat dan harmonisasinya. Kayak nyanyian nelayan pulang ke pantai saat senja. Damai dan bersahabat.
- It's A Small World (OST Disney)
Kalau ini, kaya banget! Bayangin campuran Dayak Banjarmasin x NTT x Sunda x Minahasa. Sungguh dunia kecil yang penuh warna.Â