Menjadi 1 (satu) dari  270,20 (dua ratus tujuh puluh koma dua puluh) juta jiwa penduduk Indonesia (Data BPS Per September 2020) juga salah satu dari 75,49 (tujuh puluh lima koma empat puluh Sembilan) juta jiwa generasi Z yang ada di Indonesia, saya menemukan adanya kesenjangan antara hukum dan masyarakat.
Adalah 1 (satu) diantara sekian juta mahasiswa yang menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Hukum dari berbagai universitas Indonesia, saya tertarik dengan berbagai isu dan perbincangan hukum secara akademis dengan analisis filosofis, sosiologis dan yuridisnya.Â
Namun saya mendapati posisi akan menjadi penerus, pemegang tanggung jawab besar terhadap pengetahuan dengan konsentrasi bidang ilmu hukum. Selain itu, beban moral yang besar selama proses menyelesaikan pendidikan juga menjadi sisi penting. Di lain sisi masih ada cita dan harapan yang terus dititipkan, dipesan sampaikan oleh berbagai pihak dari berbagai kalangan.
Indonesia merupakan negara hukum. Bagi mereka yang belajar di institusi pendidikan formal tentu sudah familiar dengan kalimat tersebut. Bagaimana tidak, di dalam Undang-undang Dasar NRI 1945, melalui sesi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan  kalimat tadi adalah pengenalan abadi yang tak pernah luput disampaikan. Sehingga tak bisa disangkal bahwa para pelajar tahu itu.
Lalu apa tujuan dari keberadaan hukum sebagai definisi sebuah negara? Apakah ditentukan oleh tujuan suatu negara? Jawaban atas pertanyaan ini bisa ditemukan dalam Aline ke-4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi "kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial..."
Terang dan jelas apa yang tertulis di lembaran UUD NRI 1945. Lalu terang dan jelas pula kah ini tersistem dalam pemikiran para pengemban amanah kenegaraan dan hukum di negeri ini? Bagaimana dengan masyarakat, sampaikah pemahaman ini secara merata kepada sekian juta umat manusia yang tinggal dan menetap di tanah air Indonesia? Kondisi dan waktu telah menjawab dan sudah tentu semua orang memiliki respon yang berbeda.
Selaku masyarakat yang mengenyam pendidikan tinggi untuk belajar hukum, saya merasa bangga mempelajari hal penting untuk menjalankan dan mempertahankan identitas negara ini. Namun, banyak hayalan berubah jadi harapan untuk terwujud sebagai suatu kepastian dan terealisasikan guna melengkapi kekurangan, juga menciptakan sesuatu yang baru kedepannya.
Berawal dari dua kata yakni Paham hukum. Harusnya hukum itu bisa dengan mudah dipahami oleh masyarakat karena hukum dibuat untuk kesejahateraan manusia. Pemahaman hukum yang harus diantarkan kesuluruh kalangan yang berbeda usia, berbeda tingkat pengetahuan, berbeda wilayah, tentu adalah tantangan yang besar.Â
Perubahan kian hari lebih cepat melalui perkembangan teknologi dan design hukum juga harus bisa mengakomodir perkembangan tersebut. Hal ini berkaitan langsung dengan pihak yang berkewajiban untuk mengantarkan pemahaman hukum ini kepada masyarakat secara menyeluruh, yakni para sarjana hukum khusunya, karennya pendidikan hukum benar-benar harus dipersiapkan dengan matang.
Sarjan hukum haruslah mampu berinteraksi dengan masyarakat dan mempelajari situasi yang ada di sekitar mereka. Inilah yang menjadi cara untuk meningkatkan kemampuan bidang hukumnya. Oleh karena itu mahasiswa hukum harus diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk melihat bagaimana hukum bekerja. (Legal Talk Volume 16 "Menegaskan Kembali pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 di 75 Tahun Kemerdekaan)
Mencapai titik pemahaman tentu tidak bisa dengan membiarkan produk legislasi seperti belakangan karena dapat membawa persepsi masyarakat terhadap hukum kearah negatif, tingkat kepercayaan publik kepada hukum terutama para pembuat hukum jadi semakin rendah karena berbagai aksi dan hasil dari rancangan yang disahkan.
Harapannya anak muda para mahasiswa yang menempuh pendidikan tinggi di jurusan Ilmu hukum bisa terjun ke dunia digital untuk mengeksplorasinya supaya menjadi bagian dari variasi perkembangan. Saat ini publik dibawa ke perspektif yang beragam karena andil dari dunia digital, berbagai platform media sosial. Untuk bisa melawan hoax tentang hukum dan berbagai konten yang membawa persepsi masyarakat semakin tidak paham tentang hukum harusnya bisa dihadirkan oleh sosok mahasiswa, kaula muda.
Kehadiran mereka di media sosial sebagai anak muda yang paham cara berbahasa yang asik dan mudah dimengerti akan menjadi kunci sukses untuk menjadikan masyarakat paham akan hukum yang sebenarnya. Mengerti hukum dan peraturan yang ada itu penting guna dipatuhi. Begitu juga dengan kekurangan yang masih ada, hadir dari legislator, para penegak bisa ditanggapi dengan kritikan yang membangun oleh publik melalui perantara para contect creator hukum tadi. Di dunia yang semua isu bisa cepat tersebar kemana-mana, disini pula kita harus memanfaatkan ruang dan waktu untuk meneruskan pengetahuan hukum ke seluruh daerah.
Lalu bagaimana dengan harapan untuk mengakomodir masyarakat awam? Begitulah kita sebagai anak muda, memiliki spirit yang masih menyala, datang dan berkunjunglah ke daerah-daerah bukan untuk seminar dan sosialisasi baku ala di kota besar, namun cukup dengan menghampiri dan mengenali kondisi masyarakatnya lalu dekati para pemangku adat disekitar, perlahan menjadi konsisten untuk mengenalkan perkembangan atau ya sekurang-kurangnya menjaga kelestarain hukum adat yang masih diterima oleh masyarakat setempat.
Sebagai mahasiswa Fakultas hukum muncul keinginan untuk dapat mengeksplor lebih jauh menuju ruang-ruang para ahli hukum, menciptkan berbagai regulasi. Para penegak hukum memainkan palu dan kekuasaannya diruang sidang dan tentu ingin sekali berinteraksi dengan mereka yang terjerat dalam kekeliruan tindakan dan berpikir hingga terjerumus dalam sanksi hukum. Intensitas untuk mengakses dan berada lebih lama ditempat-tempat tersebut sebagai konsep praktis belum terjalankan dengan maksimal. Selama ini, akses itu dibebaskan pada kegigihan dan kesungguhan mahasiswa mencari dari luas institusi pendidikan. Harapannya ada sistem yang mengikat yang ditetapkan oleh universitas agar tumbuh dan mengakarnya idealisme bahwa belajar praktis adalah urgensi memajukan tatanan hukum dan pelaksanaanya di negeri ini.
Indonesia punya banyak sekali penduduk terutama anak muda, besar harapannya hukum tidaklah lagi dipandang sebagai sesuatu yang tidak adil atau bisa dibeli dengan uang. Saya mengalami ini ketika masuk fakultas hukum ada teman dan keluarga yang berkata jadilah penegak hukum yang adil ya. Kenapa sih banyak pejabat melanggar hukum, korupsi? Makin tau ilmunya makin tau celahnya ya, dan sebagainya.
Amat mengerikan jika pemikiran ini terus disebar luaskan dan menguat dalam ingatan masyarakat, parahnya lagi jika memang hal itu benar adanya, media juga tak kalah cepat untuk terus menginformasikannya kepada publik. Karenanya, tidak hanya menjadi perhatian para mahasiswa, sarjana, maupun praktisi hukum. Tapi ini harus jadi perhatian seluruh warga negara terutama yang sudah mengeyam pendidikan di bidang minat apapun, dasar dari hukum harus dikenal agar tau cara bersikap dan cara mempertahankan esensi keadilannya.
Tiba pada bayangan di masa depan, tentang menciptakan sesuatu yang baru. Jika melihat produk hukum yang ada saat ini dan masih aktif digunakan dalam belajar hukum dan penegakan hukum di Indonesia, produk peninggalan penjajah masih eksis digunakan meski ada beberapa perubahan. Pembahasan untuk menciptakan produk hukum yang baru sudah terealisasi sejak lama, bahkan sudah ada draft yang dibentuk, namun entah kenapa waktunya terlampau lama sekali untuk dibahas dibanding produk hukum baru ya contohnya saja omnibus law yang paling mengundang kisruh sejak 2019 akhir sampai 2021.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan perdata membutuhkan pembaharuan. Ada kata yang tidak relevan lagi untuk digunakan di era saat ini masih bertebaran di lembaran kitab hukum tebal itu. Meski ada yang sudah sampai tahapan selesai draft nya tapi sayang masih ada polemik yang harus dituntaskan untuk tiba di hari ketok palu.
Harapku jika nanti ada ruang dan waktu serta kepercayaan dari masyarakat bolehlah libatkan para fresh graduate untuk turut andil dalam jajak pendapat untuk menciptakan regulasi baru. Melibatkan ahli hukum dari berbagai konsentrasi dalam jumlah yang lebih banyak dan intensitas yang lebih memadai agar kepercayaan publik tak lagi hilang dan kita siap dengan wajah baru, hukum untuk keadilan bukan untuk kesenangan beberapa pihak saja. Hukum tidak boleh mahal bagi siapapun, hukum itu tegas tapi tepat sasaran.
Satu hal yang tak kalah menarik adalah etika profesi hukum. Para praktisi hukum tentu belajar tentang ini. Beretika dalam menjalankan profesi ini adalah kunci untuk mewujudkan tujuan negara sesuai dengan UUD NRI 1945. Â Dengan etika seorang pemangku kekuasan, role model bagi negara tak akan berani menjadi sumber bualan harian masyarakat karena keserakahannya terhadap kekuasaan.Â
Begitu juga masyarakat, etika dalam menyerap informasi, menyebarkan dan membentuk kampanye untuk menjunjung atau menjatuhkan suatu isu adalah penentu bagaimana hukum di negara ini akan dipandang oleh generasi penerus dan juga negara lain. Karena itu, aku terus berharap agar pendidikan ambil alih sedari awal, mengikat mereka yang masih di bangku sekolah dasar untuk tahu dan mengerti cara menerapkan nilai-nilai etika dalam kehidupannya sebagai anak, warga masyarakat, oposisi dan generasi penerus bangsa.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI