Mohon tunggu...
Muhammad Ain Nur Ridho S
Muhammad Ain Nur Ridho S Mohon Tunggu... Communication Science of UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 24107030091

Seorang mahasiswa di Yogyakarta yang aktif membahas kehidupan kota Yogyakarta, berbagai permasalahan sosial, tren viral seputar tempat, sejarah, serta isu-isu budaya dan masyarakat lokal.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Ketika Harapan itu Bernama Aku

14 Juni 2025   12:00 Diperbarui: 14 Juni 2025   11:03 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret: Aku bersama pamanku (Pak De) saat masih kecil. Sumber: Dokumentasi Pribadi.

“Pak De tahu kamu nakal. Tapi kamu satu-satunya harapan keluarga. Kakak-kakakmu tidak bisa. Hanya kamu.”

Keluarga bukan hanya tempat kita lahir dan tumbuh. Keluarga bisa menjadi sekolah pertama dalam kehidupan, menjadi guru saat kita bodoh, menjadi pahlawan saat kita jatuh dan menjadi penuntun ketika kita kehilangan arah. Dalam suka maupun duka, mereka hadir. Di tengah senyuman dan air mata, keluarga menjadi sandaran yang kadang tak kita sadari nilainya sampai saat mereka tiada.

Setiap manusia pasti pernah merasakan kehilangan. Tapi kehilangan orang terdekat, terutama sosok yang menjadi sumber semangat dan harapan adalah luka yang tak mudah sembuh. Ada bagian dalam diri kita yang ikut hilang. Ada semangat yang sempat padam. Namun pada saat yang sama, dari kehilangan itu seringkali tumbuh kekuatan baru.

Saat kecil, aku bukanlah anak yang taat. Aku sering malas sekolah, sering membangkang ke orang tua, dan merasa bahwa agama hanyalah formalitas. Bahkan untuk membaca Al‑Qur’an saja dan menghafal Al-Qur'an, aku malas-malasan. Aku merasa itu tidak penting, tidak sesuai dengan impianku.

Ketika lulus SD, orang tuaku ingin agar aku masuk pesantren. Tapi aku bersikeras menolak. Bagiku, pesantren adalah tempat membosankan. Aku ingin sekolah di luar,ingin enak, ingin berteman tanpa batas. Namun, seseorang dari keluarga mendekatiku dengan sabar. Beliau bukan orang tua kandungku, tapi perannya sangat besar dalam hidupku. Ia berkata dengan tenang namun penuh harapan:

“Pak De tahu kamu nakal. Tapi kamu satu-satunya harapan keluarga. Kakak-kakakmu tidak bisa. Hanya kamu.”

Aku belum mengerti arti kalimat itu. Aku bahkan tidak peduli. Tapi waktu berbicara. Aku gagal masuk SMP negeri favorit. Semua pilihan sekolah umum tertutup. Dan satu-satunya jalan yang tersisa adalah masuk pesantren. Bukan karena aku mau, tapi karena tak ada pilihan lain. Waktu itu aku merasa kecewa, tetapi itulah awal mula takdir baik itu dimulai.

Hari-hari pertama di pesantren terasa seperti tidak enak. Aku kesulitan beradaptasi. Rutinitas padat, aturan ketat, dan budaya baru membuatku tertekan. Tapi sedikit demi sedikit, hatiku mulai membaik. Aku melihat teman-temanku bisa membaca dan menghafal Al‑Qur’an dengan fasih. Aku mulai malu pada diriku sendiri.

Dari sanalah semangat itu muncul. Aku mulai belajar Al-Qur'an lagi dari awal. Mulai mengenal huruf demi huruf. Mulai mencintai suara lantunan ayat-ayat suci. Dan dari ayat-ayat itu, aku mulai melihat hidup dengan cara yang berbeda.

Sosok yang tadi kusebut, yang menyebutku sebagai “harapan keluarga,” tak henti-hentinya memberi semangat. Ia tak pernah bosan menghubungiku, menanyakan kabar, dan mengingatkan tentang tanggung jawabku. Ia adalah penyemangat yang selalu hadir, baik dari dekat maupun jauh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun