Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Jangan Peduli Teori, Puisi Bukan Penjara

9 Februari 2023   15:06 Diperbarui: 9 Februari 2023   15:24 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menulis (Gambar: iStock)

TULISAN INI tidak mengulas perkara berat. Tulisan ringan belaka. Seringan orang-orang sekarang menggubah puisi. Lihat bunga, jadi puisi. Lihat langit, jadi puisi. Lihat gebetan, jadi puisi. Lihat mantan, jadi puisi. Malahan, berak saja bisa dijadikan puisi.

Menulis puisi memang ringan, kok. Tidak berat, tidak sulit. Kecuali bagi Engkong Felix. Beliau memang begitu orangnya. Yang ringan diperberat. Yang mudah dipersulit. Yang dangkal diperdalam.

Bukan Engkong Felix namanya kalau apa-apa disamakan dengan menyuap makanan. Ringan banget. Merem saja, tangan tidak akan salah arah mengantar suap. Mati lampu pun, tangan selalu dengan mudah menemukan lubang mulut.

Lihat saja tulisan Engkong tentang menulis puisi. Judulnya saja diubah-ubah. Awalnya, Menulis Puisi Itu Sulit [Tapi Pseudo-Puisi]. Tilik saja. Dibikin rumit sampai ada frasa dipenjara dalam kurung siku.

Eh, tidak lama berselang judul diubah. Sekarang, Menulis Puisi Itu Sulit, Sebuah Refleksi Pribadi. Judul yang lebih sederhana. Lebih mudah dicerna. Kendati masih bawa-bawa "refleksi". Bukan pijat-memijat untuk relaksasi, melainkan permenungan yang lagi-lagi "diberat-beratkan".

Sosiolog yang mengaku tengah sibuk belajar menulis puisi itu bak sengaja menempuh jalan terjal. Ia pilih sendiri. Baru belajar sudah mencari tebing curam. Belajar atau bunuh diri? Bagai tiada jalan mudah yang bisa ditempuh seperti kebanyakan orang yang belajar menulis puisi.

Coba lihat, belum apa-apa sudah menyisir definisi puisi. Terlalu. Fakultas sastra di kampus-kampus saja menganggap enteng urusan puisi. Rata-rata masih mengira puisi itu wilayah "permainan perasaan". Takarannya, subjektivitas.

Aneh, kan? Dijadikan ilmu pengetahuan, tetapi tanpa tolok ukur. Semua dikira "berangkat dari hati". Tidak heran jika banyak pemuisi yang menulis puisi sekehendak hati mereka saja.

Inilah kekeliruan Engkong Felix. Ingin menabrak pakem bobrok. Ingin menabrak tradisi buruk. Ya, sulit. Serius. Memangnya Engkong Felix itu siapa? Penyair besar? Pensyair yang meraih penghargaan sastra di dalam dan di luar negeri?

Beliau saja mengaku "masih belajar". Aneh. Sudahlah. Kalau memang mau belajar menulis puisi, ya, tidak usah repot-repot. Tutup mata saja. Pilih acak kata. Jadikan puisi. Kelar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun