Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mengulik Pernyataan Firli dan IPK Indonesia yang Jeblok

13 April 2021   20:59 Diperbarui: 13 April 2021   21:03 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Olah Pribadi

Pada 28 Januari 2021, Transparency International Indonesia (TII) meluncurkan Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) 2020. IPK Indonesia anjlok. Dari skor 40/100 pada 2019 menjadi 37/100 pada 2020. Alarm menyala. Peringatan keras menggema.

Posisi Indonesia pun melorot. Jika pada 2019 menduduki peringkat 85 , pada 2020 terjun bebas ke posisi 102. Indonesia pada 2020 satu kelas dengan Gambia. Kalah posisi dibanding Timor Leste di posisi 86 dengan skor 40/100. Malaysia jauh di atas Indonesia (57, 51/100). Jangan dikata Singapura (3, 85/100), sungguh jauh dari peringkat Indonesia.

Merujuk pada data tersebut, Pemerintah mesti berbenah. Korupsi tidak boleh dipandang remeh, tidak bisa dianggap sepele. Selain merugikan rakyat, korupsi juga menggerogoti uang negara. Lampu merah sudah menyala, kita tidak boleh berleha-leha lagi.

"Anjloknya IPK Indonesia harus disikapi secara serius," ujar Laode Muhammad Syarif, dilansir koran.tempo.co. "Pemerintah tidak boleh menganggap enteng hal tersebut."

Patut kita camkan, Transparency International (TI) menggunakan skor dari 0 hingga 100 dalam mengukut IPK. Jika skor satu negara berada pada angka 0 berarti negara tersebut sangat korup. Sebaliknya, jika satu negara mencapai skor 100 berarti negara tersebut bersih dari korupsi.

Di mana posisi Indonesia? Tidak perlu jauh-jauh melirik ke benua lain. Cukup melihat ke tetangga. Posisi Indonesia berada di bawah Timor Leste, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Jadi, korupsi di Indonesia sudah kronis. Malah bisa disebut kritis.

Ndilalah, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan pendapat nyeleneh. Dengan enteng Firli Bahuri, dilansir cnnindonesia.com, menyatakan bahwa jumlah koruptor tidak banyak. Hanya 1.550 orang. Jauh jika dibandingkan dengan 262 juta rakyat Indonesia yang baik.

Firli tidak salah. Data yang dia sajikan tepat. Kalau melihat jumlah, 1.550 koruptor jelas sangat tidak setanding dan setimbang dengan 262 juta rakyat Indonesia yang tidak melakukan korupsi. Hanya saja, data tersebut perlu dipersoalkan.

Pertama, koruptor yang ketahuan baru 1.550 orang. Itu yang ketahuan. Kita belum tahu seberapa banyak oknum pejabat yang diam-diam menjadi "tikus pengerat uang rakyat". Ketika seorang koruptor tertangkap, entah basah entah kering, potensi ada koruptor lain jelas ada.

Kedua, jumlah koruptor sedikit dengan kerugian yang besar. Kita pukul rata saja setiap koruptor mengantongi Rp1 miliar. Silakan kalikan dengan 1.550 orang. Hasil pengaliannya barangkali jika kita belikan es buah dapat membentuk tasik, telaga, atau danau.

"Karena itu, jangan sampai orang yang kena OTT saja yang ramai, sementara masih banyak, ribuan bahkan jutaan, orang yang baik," kata Firli.

Kumendan lembaga antirasuah itu mengeluhkan gegap gempita pemberitaan penangkapan para koruptor. Dalam kacamata Firli, kabar buruk jangan sampai menutupi kabar baik. Itu benar. Sama sekali tidak salah.

Hanya saja, ada satu hal yang perlu kita indahkan. Pemberitaan tentang penangkapan koruptor memang harus dibesar-besarkan. Kalau perlu, dikabarkan dari media massa hingga ke pos-pos ronda. Bukan untuk melampiaskan syahwat gibah, melainkan untuk meningkatkan kontrol sosial.

Perlu kita ingat bahwa Indeks Demokrasi Indonesia 2020 terjun bebas ke posisi terendah sejak 14 tahun terakhir. Tahun lalu, skor indeks demokrasi kita hanya 6,3 sehingga berhak atas rangking 64 dari 167 negara. Itu alarm bahaya.

Kalau mau kata yang lebih spesifik: gawat. Kategori indeks demokrasi kita, sebagaimana yang dilaporkan oleh The Economist Intelligency Unit (EIU), pada 2020 adalah demokrasi yang cacat (flawed demoracy). Malu, Pak Firli. Malu!

Sememangnya Ketua KPK perlu menapis pernyataan. Sekalipun beliau melontarkan pendapat pribadi, marwah lembaga yang dia pimpin pasti terbawa. Maraknya pemberitaan OTT merupakan bagian dari kontrol sosial. Biar semua orang tahu "si anu sudah menganu uang negara".

Apabila informasi soal korupsi disamaratakan dengan berita tentang maling ayam, korupsi bisa-bisa dianggap sebagai tindak kejahatan biasa. Padahal, korupsi adalah kejahatan luar biasa. Pak Firli tidak bisa membatasi ingar-bingar pemberitaan soal garong uang negara. Masyarakat berhak tahu apa yang terjadi dan apa yang dilakukan KPK.

Ada persoalan lain yang akan muncul apabila informasi penangkapan dianggap biasa. Selain alir kabar memampat, kejelasan hasil akhir dari sebuah tindakan korup tidak akan tersebar luas. Itu perkara besar. Sanksi sosial sejatinya menjadi salah satu hukuman psikososial bagi pelaku.

Makin mudah seseorang "mengamankan" uang negara ke dalam saku sendiri makin merangsang orang lain untuk melakukan hal serupa. Akan berbeda jika koruptor "dimiskinkan", baik dalam bentuk pengembalian hasil garong maupun dalam pemberian perlakuan khusus.

Saya percaya, Pak Firli pasti paham soal kontrol sosial dan sanksi sosial. Jika maling motor dikasih tempat tidur berupa lantai tanpa alas, koruptor sebaiknya diperlakukan serupa. Kalau bisa, lebih menyedihkan. Jangan sebaliknya, koruptor masuk penjara justru diberi layanan yang setara dengan kamar hotel mewah.

Maka dari itu, Pak Firli--selaku panglima pemberantasan korupsi--tidak boleh memandang enteng perlakuan terhadap koruptor. Biarlah Bapak Firli dan kolega bekerja mati-matian memberangus korupsi, lalu biarkan pula jurnalis habis-habisan mengabarkannya.

Jangan-jangan koruptor yang belum tertangkap melakukan rapat gelap. 

"Saudara-saudara, tetap setia pada perilaku korupsi. Kita hanya sedikit, tetapi kerugian yang kita hasilkan menyakiti seratus enam puluh dua juta rakyat Indonesia yang baik."

Oh, orasi demikian sungguh menyesakkan dada. [kp]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun