Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Haram Hukumnya Orang Ziarah Dikubur

13 April 2021   03:03 Diperbarui: 16 April 2021   14:41 8426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Olah Pribadi

Salat Tarawih malam pertama Ramadan akhirnya kelar. Ramadan tahun ini sedikit berbeda. Tidak seperti Ramadan sebelum musim pagebluk merajalela. Jemaah berkurang. Sebelum memulai, imam tidak meminta makmum untuk merapatkan saf. Jaga jarak, begitu kira-kira.

Namun, bukan itu yang berasa berbeda. Tarawih tadi malam seperti hasil inovasi. Tarawih 4.0. Kolaborasi Muhammadiyah dan NU terlihat jelas. Dua ormas Islam bagai tanpa sekat. Imam yang lepasan pondok pesantren NU, tadi malam menjadi sangat Muhammadiyah.

Beliau penyuka bolakaki. Semalam beliau pilih strategi 4-4-3. Formasi yang kerap digunakan oleh kesebelasan Muhammadiyah. Makmum pun tidak banyak komentar, tidak juga main protes. Ya, semua berjalan lancar. Rakaat Muhammadiyah, kecepatan NU.

Bisa Anda bayangkan betapa lama salat Tarawih andaikan formasi terbalik: rakaat NU, kecepatan Muhammadiyah. Bisa-bisa pikiran makmum mengelana ke mana-mana. Saya pikir, itu terobosan menarik. Kesepakatan dalam keberagaman.

Setakat itu, naga-naganya pandemi korona juga menanam saham. Salaman ala kadarnya; sapaan sekadar basa-basi; masker menyamarkan sedekah senyum, sebab senyum tidak kelihatan.

Menjelang petang, saya ziarah ke makam. Tidak banyak warga yang menyambangi kuburan. Ada sepi menyeruak dari batu-batu nisan. Ada hampa mencuat dari gundukan pusara. Sepulang dari makam, tiba-tiba otak iseng saya kumat. Sepulang Tarawih, saya buka Fesbuk.

“Agama Islam tidak pernah menyuruh orang ziarah dikubur. Itu perbuatan sesat. Melanggar nilai kemanusiaan.”

Dalam sekejap, status saya dikerubungi massa. Jemaah Al-Fesbukiyah berkomplot merubungi saya. Mereka sajikan rupa-rupa komentar. Entah bagaimana mulanya, status saya malah bikin perut saya kembung karena ngakak tanpa jeda.

Padahal, saya tidak keliru. Kata “dikubur” sudah tepat untuk menggambarkan peristiwa. Fungsi “di” pada kata tersebut adalah awalan. Akan berbeda jikalau saya menulis seperti ini: agama Islam tidak pernah menyuruh orang ziarah di kubur. Spasi menentukan makna.

Agama Islam juga melarang kita menyuruh orang salat,” kata Machmud Yunus.

Saya sepakat. Kurang ajar sekali. Orang salat, ya, biarkan salat. Jangan disuruh-suruh. Biarkan salat kelar, baru suruh ke mana-mana. Itu baru beradab. Kalau sedang salat lantas kita suruh ini dan itu, itu biadab namanya.

Gara-gara kurang satu kata, kalimat jadi taksa. Ambigu. Bandingkan seandainya bunyi amar di atas seperti ini: agama Islam juga melarang kita menyuruh orang yang salat. Hanya dengan satu kata, yakni yang, makna kalimat berbeda jauh. Jauh sekali.

Agama Islam juga melarang mendoakan orang mati,” kata Bamby Cahyadi.

Mati memang sesuatu yang niscaya. Setiap yang hidup akan mati. Kendatipun tidak didoakan, ajal tetap akan tiba. Malaikat Maut bukan petugas yang gampang terserang lupa. Demensia pun enggan menyerang Malaikat Maut. Jadwal kematian sudah jelas.

Akan berbeda andai kalimat itu ditambahi kata sambung. Contoh: agama Islam juga melarang mendoakan orang agar mati. Apalagi: agama Islam juga melarang mendoakan orang agar cepat mati. Doakan orang lain agar baik-baik saja.

Bayangkan,” kata Andi Karman lewat aplikasi perpesanan, “Daeng berada di tengah keramaian, lalu mengumandangkan awal ayat empat belas dalam Surah Taha.”

Doktor linguistik yang masih berusia muda itu memicu imajinasi saya. Bayangkan saya berada di tengah keramaian dan menyatakan “inna nii anallah”. Ayat itu mesti saya baca secara utuh, tidak boleh main penggal. Sesungguhnya Aku adalah Allah. Bisa dituduh sesat, padahal mengutip ayat.

Maka dari itu, selamat berpuasa. Saya pun akan mengistirahatkan jemari saya dari kebiasaan mengumbar cuitan kelakar dangkal. Jangan sampai gara-gara “haram hukumnya orang ziarah dikubur” lantas publik tersinggung.

Saya bisa dianggap sesat, padahal sedang menyuguhkan cara membedakan “di” sebagai imbuhan dengan “di” selaku kata depan.

Serius. Saya juga akan berhenti mengumandangkan maklumat “haram hukumnya orang merokok menjadi imam salat”. Khawatir ahli isap mengamuk-amuk. Padahal, maksud saya sederhana. Jika seseorang sedang merokok, jangan salat. Apalagi menjadi imam! [kp]

Tulisan terkait:

  1. Enam Fatwa yang Perlu Anda Ketahui
  2. Umat Islam di Jazirah Arab Tidak Lebaran

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun