Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi, Kritik Pedas, dan Akuisisi Oposisi

11 Februari 2021   05:05 Diperbarui: 11 Februari 2021   05:08 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Temu damai Jokowi dan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus seusai Plipres 2019 (Foto: Kompas.com/Kristian Erdianto)

Orde Baru dan Orde Lama berhasil mencitrakan oposisi sebagai sebuah kesalahan. Oposisi bukan jati diri bangsa; oposisi antek kekuasaan asing; oposisi pasti kontrarevolusi; oposisi anti-Pancasila; oposisi tidak natural; dan oposisi berasal dari kalangan ekstrem. Rupa-rupa citra buruk diterakan kepada oposisi. 

Memasuki era reformasi, harapan atas kehadiran oposan yang berkualitas kembali mengemuka. Oposisi diharapkan mampu menumbuhkan demokrasi yang lebih sehat. Sayang, sebagian pihak masih mengira oposisi sebagai sekadar penggembira di kancah demokrasi. Tidak heran jika oposisi dipandang sebelah mata, baik oleh masyarakat maupun pembesar partai. Menjadi oposan alamat mengancam keberlangsungan partai.

Memasuki periode kedua pemerintahan Jokowi, kali ini berpasangan dengan Ma’ruf Amin, tumbuh kembang sikap kritis lebih banyak di kalangan cendekiawan, pemerhati politik, dan warganet. Keberadaan platform media sosial memudahkan saluran kritik itu. Tiap orang dapat dengan mudah mengasongkan kritik, bahkan ada yang saking pedasnya sampai-sampai kritik disamakan dengan hujatan atau umpatan.

Sayangnya, nasib pengkritik acapkali berujung pilu. Kebebasan bersuara, berpendapat, dan berekspresi ditandingkan dengan UU ITE. Dalam beberapa kasus, terlihat kecenderungan tebang pilih. Pihak yang mendukung pemerintah jarang berakhir di penjara, sementara pihak yang berseberangan banyak yang mendekam di penjara.

Mencari jati diri oposisi

HARUS kita akui, eksistensi dan pertumbuhan demokrasi di Indonesia belum sempurna.  Bahkan, masih jauh dari sempurna. Keberadaan oposisi "yang antara ada dan tiada", tanpa kita sadari, justru menyediakan tempat lapang bagi munculnya praktik politik yang mereduksi hakikat demokrasi itu sendiri. Pelaksanaan kekuasaan belum terkontrol dengan kuat, karena kekuatan oposisi masih limbung dan sempoyongan.

Meminjam analisis Dahl (1971), kita tidak bisa memungkiri bahwa oposisi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari demokrasi. Pohon demokrasi tidak akan tumbuh rimbun dan rindang selama cara kita memandang oposisi masih sebelah mata. Padahal, oposisi amat kita butuhkan sebagai alat kontrol terhadap pemerintah.

Kita tidak bisa lagi menganggap oposisi sebagai tradisi impor, sebab sistem demokrasi kita memang hasil impor, bukan lahir dan tumbuh sendiri di Nusantara. Satu hal yang patut kita camkan, oposisi bukan sesuatu yang asing atau masih baru di Indonesia. Studi Kroef (1977) menunjukkan bahwa oposisi sudah hadir sejak awal dalam sistem demokrasi kita. 

Apa yang terjadi hari ini? Partai politik cenderung bersikap pragmatis. Alasan bergabung atau berada di luar pemerintahan bukan atas dasar ideologi partai, melainkan demi raihan suara pada pemilu berikutnya. Andaikan alasan berkoalisi atau beroposisi dilakukan atas dasar ideologi, partai yang tidak seideologi dengan pemenang pemilu otomatis akan menjadi partai oposisi.

Bagaimanapun, keberadaan partai oposisi merupakan sesuatu yang inheren dalam sistem demokrasi. Tanpa partai oposisi, demokrasi seperti “anak muda yang mudah sakit-sakitan”. Memang masih ada partai oposisi selain yang telah diakuisisi oleh Jokowi, tetapi terkesan "lemah syahwat".

Simpulan

APABILA partai oposisi bekerja dengan baik, benar-benar bekerja demi rakyat atau konstituen yang diwakili, kehadiran partai oposisi dapat semakin meningkatkan kualitas “wakil rakyat” di DPR. Dengan begitu, DPR sebagai lembaga yang bertugas mengontrol kekuasaan pemerintah semakin berdaya guna.

Itu sebabnya kita harus segera mencari cara untuk mengembalikan marwah partai oposisi pada tempat yang semestinya. Elite partai mesti menumbuhkan kesadaran berpolitik sehingga tidak melihat oposisi sebagai posisi yang merugikan.

Selain itu, khalayak luas juga mesti menumbuhkan cara pandang baru terhadap partai oposisi, setidaknya dengan tidak memandang oposisi sebagai “hama pengganggu demokrasi” atau partai penggembira belaka.

Dengan begitu, Pak Jokowi tidak perlu kasak-kusuk meminta kritik pedas, sekalipun beliau jelas-jelas mengakuisisi oposisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun