Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Diari Itu Candu, Begitu Fatwa Engkong Felix

22 Januari 2021   17:00 Diperbarui: 22 Januari 2021   17:35 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lelaki yang terus menulis (Ilustrasi: dorrancepublishing.com)

TAHUKAH Anda peristiwa apa yang paling membahagiakan? Kata Engkong Felix, menemukan titik noda atau kesalahan orang yang benar. Tentu saja Anda punya jawaban sendiri, sama seperti saya, maka jawaban Engkong Felix sebaiknya sama-sama kita jauhkan dari benak. Itu sesat.

Mengapa saya berkata demikian? Coba teman-teman tilik artikel Engkong Felix. Dalam artikel yang berjudul Kesalahan Berbahasa Daeng Khrisna Pabichara, Engkong Felix merayakan kebahagiaan dengan penuh sentosa. Seakan-akan tiada lagi kegembiraan melebihi noda berbahasa dari sosok bernama Khrisna Pabichara.

Menemukan kesalahan orang benar itu membuatku sungguh senang, sangat senang, sampai terdungu-dungu. Anjuran sosiolog yang senang mencangkul di ladang kata itu janganlah kita tiru. Sekali kita tiru, bisa-bisa kita kerasukan setan kepo dan terus terangsang untuk mencari-cari kesalahan orang. Itu sesat dan menyesatkan. Tampaknya, iblis pun takjub.

Perbandingan yang dijadikan fondasi kelit Engkong Felix pun sungguh tidak setara. Siapalah itu si nabi munsyi, itu sebutan khas Engkong Felix, bernama Khrisna Pabichara, sehingga dibandingkan dengan sosok terdepan di dalam satu negara. Dalam hemat saya, Khrisna hanyalah remah rengginang yang kadang tersasar salah tempat di kaleng kue lain.

Tidak bisa begitu, Poltak. Eh, maaf, Engkong Felix. 

Apa soal Khrisna disebandingkan dan disetandingkan dengan presiden? Jauh rokok dari korek, Engkong. Seorang Presiden punya kuasa untuk memperbaiki segala-gala yang rusak di dalam negara yang ia pimpin. Seorang Khrisna tidak punya kuasa apa-apa, daya apa-apa, peranti hukum apa-apa, bahkan sekadar untuk memperbaiki tata bahasa orang lain.

Itu menurut amatan dangkal saya. Namun, kita maklumi saja. Kita tonton secara saksama saja tikai ide antara Engkong Felix dan Daeng Khrisna.

***

PADA bagian lain, setelah meloncat-loncat kegirangan seperti pemandu sorak ganjen di tepi lapangan basket, Engkong Felix menajamkan kegembiraannya lewat fatwa tentang tanda koma yang dilupakan oleh Daeng Khrisna. Tentu saja itu temuan menarik apabila kita mengingat ketelitian Daeng Khrisna tatkala mengudar pernak-pernik kesalahan berbahasa.

Benar begitu? Belum tentu. Kita semua mafhum bahwa Khrisna adalah murid bengal dari sang suhu bernama Engkong Felix. Jadi, Khrisna sepertinya tengah memberikan ruang bagi sang suhu untuk kembali menurunkan ilmu baru, jurus baru, dan trik baru agar makin si murid kian matang dalam menata argumentasi akademis. Bisa jadi, ya.

Kadang-kadang murid yang sudah lama turun gunung kembali ke pesanggrahan menemui gurunya. Biar dapat bekal baru, biar bisa terjun lagi ke rimba persilatan. Saya pikir itu yang diinginkan oleh Khrisna dari gurunya. Pendek kata, biar gurunya melek lagi. 

Faktanya, peluit di bibir sang suhu langsung berbunyi. Bunyinya nyaring sekali. Sang suhu begitu gesit menyemprit sang murid. Wasit yang ngos-ngosan di lapangan bola saja kalah gesit. Itulah rasa-rasanya yang diinginkan oleh Khrisna. Semacam ajakan kepada sang suhu agar tidak enak-enakan di kursimalas, agar tidak berlama-lama di balik selimut, agar segera berfatwa lagi.

Sayang sekali, hajat Khrisna tidak sepenuhnya terpenuhi. Hanya seperempat saja yang terkabul. Apa pasal sehingga Khrisna merasa hanya sebagian hajatnya yang terkabul atau terpenuhi? Ya, kopi kurang berarti tanpa rasa sepi. Naga-naganya begitulah perasaan Khrisna.

Maksud hati mengajak sang guru ke medan latih, apa daya badan masih pejal menarik jurus.

***

PANGKAL soal sebenarnya jauh dari sekadar tanda titik, tanda koma, atau tanda seru. Ada perkara yang lebih pelik dari semua tanda baca itu. Ini soal betapa bangkangnya si murid sampai sang suhu kelabakan menjaga ketenangan diri.

Diari. Itu awal mula tengkar gagasan di antara mereka. Engkong Felix selaku guru merasa perih karena Daeng Khrisna sebagai murid melontarkan ajakan pemberontakan. Mula-mula menulis sendiri diari setiap hari, lalu secara tersirat mengajak murid lain untuk urunan tuang ide di lapak Diary. Di situ asal mulanya.

Sepembangkang itukah Daeng Khrisna? Tidak begitu. Tahukan apa yang akan dilakukan seorang anak didik untuk menarik perhatian sang guru? Coba bayangkan. Ya, begitu. Daeng Khrisna caper, Engkong Felix baper. Klop sudah. Persis makanan dan tudung saji. Salah satu tiada, dua-duanya nirmakna.

Sebagai pengamat liar yang memantau tengkar gagasan mereka, saya menyangka Engkong Felix dan Daeng Khrisna bersepakat melakukan pekerjaan rahasia. Semacam iklan terselubung. Perhatikan dalih saya di bawah ini. 

Komparasi murid caper dan guru baper itu malangnya luput dari perhatian Admin Kompasiana. Lo, kenapa pula saya menyeret-nyeret Administratur Kompasiana yang sudah ribet dengan ibadah merawat ribuan Kompasianer? Ada alasannya. Ayo, kita sibak!

Kolaborasi murid dan guru, dengan watak caper dan baper, sebenarnya adalah ajang pariwara gratisan bagi lapak-lapak di Kompasiana. Tatkala lapak Diary belum dilirik penuh oleh para Kompasianer, dua petikai itu ambil medan. Panggung mereka bangun. Yang satu mengajak, satu lagi melarang. Yang satu memengaruhi, satu lagi menimpali. Cocok, kan?

Menurut amatan picik saya, Engkong Felix sengaja menyebut-nyebut nama Om Aji, itu teknik endors yang luar biasa. Tiap Kompasianer pasti kenal sepak terjang Om Aji. Apalagi ketika Bli Ketut Suweca ikutan naik gelanggang. Ditambah pula oleh Om Tedra. Lalu Daeng Khrisna datang memanas-manasi seakan-akan menentang Engkong Felix. 

Padahal, tidak. Diam-diam mereka saling kirim pesan lewat fasilitas percakapan di Kompasiana. Atur strategi, susun taktik. Lalu berkolaborasi. Nah hasil kolaborasi mereka sungguh biadab. Ini yang saya lihat, Guido pun sempat berpaling sejenak dari lapak tani. Zaldy yang biasanya cuma bermain-main di lapak puisi dan cerpen, sempat pula melompat ke lapak diari sekalipun masih ngos-ngosan.

Dalam hemat saya, selaku penulis artikel ini, dampak kerja sama antara Engkong Felix dan Daeng Khrisna sangat besar. Kompasianer yang jauh dari fiksiana pun bisa tertarik menulis diari. Puisi? Tetap laris, sekalipun yang baca satu-dua orang. Cerpen juga begitu. Diari? Itu mainan hati, Bro.

Suatu ketika Om Rudy akan menepikan sejenak angka-angka untuk menulis diari. Boleh jadi pula Pak Hensa mengabaikan sementara lapangan sepakbola dan bulutangkis. Demikian pula dengan David Abdullah, bisa jadi mendadak melankolis dan sentimental sekadar untuk mengenang sepakan mantan di lapak diari. Mereka bisa saja satu ketika terjun ke kolam diari. 

Bukan apa-apa, Engkong Felix sendiri yang mengeluarkan fatwa: diari itu candu.

Salam takzim, bukan Khrisna Pabichara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun