Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Benarkah Tokoh Jahat dalam Cerita Harus Selalu Jahat?

18 Desember 2020   12:48 Diperbarui: 19 Desember 2020   08:08 903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tokoh, sebagaimana plot, sangat menentukan keberhasilan sebuah cerita. Baik novel ataupun cerpen pasti butuh tokoh. Melalui tokoh itulah pencerita menyampaikan gagasannya.

Ketika menggubah satu cerita, pengarang meniru kapasitas dan kuasa Tuhan, yakni menciptakan tokoh. Sekalipun tokoh dalam cerita merupakan rekayasa imajiner pengarang, ia bukan replika dari pengarang. Dengan kata lain, tokoh dalam cerita bukanlah diri pengarang yang disemati ciri, nama, dan tabiat baru.

Tokoh dalam cerita bisa terinspirasi dari sosok yang benar-benar ada dalam kehidupan sehari-hari sang pengarang, dapat juga dari bayangan imajiner yang diciptakan oleh pengarang sesaat atau selama mengarang. Dengan demikian, sosok tokoh yang dicipta mesti tampak nyata atau seperti benar-benar ada.

Tokoh protagonis, misalnya, bukanlah sosok malaikat yang tidak memiliki kekurangan, aib, atau noda sepanjang cerita. Demikian pula dengan tokoh antagonis bukan berarti selalu harus bejat, bobrok, dan tidak berperikemanusiaan. Tokoh tanpa cacat cela dapat membuat pembaca hilang semangat.

Ketika menciptakan tokoh Tutu dalam novel Natisha, saya menaja karakter fisik yang sempurna. Ia tampan, cerdas, dan lembut hati. Namun, ia punya kelemahan. Tutu bukan berasal dari kalangan bangsawan sehingga ia punya keterbatasan dalam mewujudkan gelegar cintanya. Sekalipun ia seorang dokter, sesekali ia disergap ragu sehingga lamban memutuskan sesuatu.

Kontradiktif? Justru di situlah sisi menariknya. Tokoh antagonis yang psikopat, misalnya, dapat menjadi sosok yang mengibakan karena dia sering membantu nenek renta menyeberang jalan atau menolong pemulung mendorong gerobak. Sisi-sisi humanis tetap ada, sebab tidak ada manusia yang sepanjang hidupnya hanya melakukan kejahatan.

Begitu pula dengan sosok baik hati yang kita taja dalam cerita. Sebaik apa pun tokoh itu, pasti ia pernah melakukan kesalahan. Entah disengaja entah tidak. Boleh saja kita menciptakan tokoh yang sungguh-sungguh baik, sebab dalam kehidupan sehari-hari pun ada sosok seperti itu, tetapi seyogianya ia pernah melakukan kesalahan agar sosok itu tampak manusiawi.

Sisik-melik dan seluk-beluk tokoh itulah yang disebut penokohan. Definisi sederhana penokohan yang dapat saya ajukan di sini adalah proses menciptakan tokoh, cara menciptakan tokoh, dan perbuatan menciptakan tokoh. Jadi, segala hal yang terpaut dengan proses, cara, dan perbuatan menciptakan tokoh disebut penokohan.

Pengarang yang arif, setidaknya ingin menjadi arif, harus paham seluk-beluk penokohan. Terkait proses, pengarang harus tahu tahapan apa saja yang mesti dilakukan dalam menciptakan tokoh. Setidaknya, pengarang harus tahu dari mana tokoh itu berasal. Itulah yang disebut latar sosial tokoh.

Andaikan saja Awan, bukan nama sebenarnya, berasal dari keluarga pemulung maka ia akan ragu dan kebingungan saat pertama kali menghadiri makan malam di sebuah restoran mewah. Itu bukan perkara diskriminatif, tetapi mencitrakan karakter Awan tatkala berada di sebuah tempat yang ia merasa asing dan belum terbiasa.

Maka jelaslah bahwa pengarang adalah periset yang telaten dan cermat. Bahwa Awan seiring perjalanan waktu mahir menggunakan pisau dan garpu saat menghadiri jamuan makan, itulah yang disebut perubahan karakter. Perubahan karakter itu mustahil ujuk-ujuk terjadi. Mesti ada proses yang dilewati.

Sehubungan dengan cara, pengarang juga mesti tangkas dalam melukiskan karakter tokoh yang ia ciptakan. Jangan semuanya ditumpahkan dalam satu kalimat atau alinea. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun