Siapakah yang dapat menjamin ketidakberpihakan abdi negara, misalnya, untuk tidak berpihak atau berdiri selaku pendukung Gibran? Tidak ada. Belum lagi ada satu fakta yang sangat vital: Jokowi masih duduk di kursi presiden. Terlepas dari besarnya potensi memilih Gibran karena memang ingin memilih, tidak menutup kemungkinan ada pula pihak yang "mencari muka".
Jika itu terjadi, tidak ada garansi apa pun bagi demokrasi sebab sistem hukum kita masih sangat rentan. Itulah alasan mengapa tidak sedikit pihak yang mencibir tradisi bernama politik dinasti. Alih-alih mengupayakan kemajuan demokrasi, politik dinasti justru mengusahakan kemunduran demokrasi.
Lubang Hitam Politik Dinasti
Tampaknya kita perlu mengembalikan arti politik dulu ke hakikat sebenarnya. Sejatinya, politik bukanlah alat meraih kekuasaan belaka. Sesungguhnya politik adalah alat untuk mewujudkan kehidupan yang adil, damai, dan sejahtera. Siapa pun yang memahami politik sebagai alat untuk semata-mata meraih kekuasaan berarti telah salah tafsir. Nah, mereka yang salah tafsir inilah yang kemudian mengupayakan segala cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Hal itu sejalan dengan pandangan Bertrand Russell, "Power is sweet, it is drug, the desire which increase with a habit." Filsuf asal Inggris itu dengan gamblang mengatakan bahwa kekuasaan serupa candu. Itu jelas bukan pepesan kosong. Semua manusia yang sudah merasakan keempukan singgasana cenderung mempertahankan singgasana itu. Apa pun caranya.
Gubernur perempuan pertama di Indonesia, Ratu Atut Chosiyah, adalah contoh konkret keberadaan politik dinasti. Sekalipun kasus korupsi menjerat mantan Gubernur Banten itu, pesona nama besar Tubagus Chasan Sochib tetap menyilaukan mata warga di "negeri para jawara".Â
Putra sulung Ratu Atut, Andika Hazrumy, kini menduduki kursi Banten 02. Andiara Aprilia, anak kedua Ratu Atut, mewakili rakyat Banten selaku anggota DPD RI masa bakti 2019--2024. Belum lagi menantu, adik kandung, dan adik tiri, dan adik ipar Ratu Atut. Senarainya sangat panjang kalau mesti diurai satu demi satu.
Menyeberang ke Kalimantan Timur, politik dinasti juga tumbuh subur di Kota Bontang. Sang Ibu, Neni Moerniaeni, terpilih sebagai Wali Kota Bontang pada Pilwalkot 2016.Â
Si anak, Andi Faisal Sofyan Hasdam, saat ini menjabat sebagai Ketua DPRD Kota Bontang. Suami Ibu Wali Kota Bontang, Andi Sofyan Hasdam, sebelumnya merupakan Wali Kota Bontang selama dua periode. Dengan kata lain, kursi bupati diwariskan dari suami kepada istri.
Contoh lain yang cukup bikin melek mata adalah politik dinasti di Bangkalan. Kursi Bupati Bangkalan berpindah dari sang ayah, Fuad Amin Imron, kepada anaknya yang masih belia, Makmun Ibnu Fuad.Â
Sang ayah yang terbentur aturan menjabat hanya dua periode akhirnya bertransmigrasi ke legislatif. Beliau kemudian terpilih menjadi Ketua DPRD Bangkalan. Ayah jadi Ketua DPRD Bangkalan, anak jadi Bupati Bangkalan.
Ketika kekuasaan dikangkangi oleh segelintir keluarga, terbangunlah politik dinasti. Itu dapat membahayakan demokrasi, apalagi kalau pucuk eksekutif dan legislatif berada di dalam genggaman satu keluarga. Ah, sudahlah!
Berkaca pada Kasus GibranÂ
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!