Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tradisi Royong, Sastra Lisan Makassar yang Bergerak ke Rumah Punah

11 Juli 2020   21:10 Diperbarui: 12 Juli 2020   19:54 1423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Maestro ganrang, Daeng Serang Dakko, penabuh | kebudayaan.kemdikbud.go.id

Beberapa abad lalu, jauh sebelum agama samawi tiba di Nusantara, sebuah tradisi sastra lisan tumbuh subur di tengah masyarakat Makassar.

Namanya royong. Secara sederhana berarti nyanyian. Penyaji royong disebut paroyong. Pada mulanya royong dilantunkan di kalangan khalayak ramai. Bayi di dalam rahim disuguhi royong. Balita di ayunan ditidurkan bersama dendang royong.  

Lambat laun royong diserap istana dan menjadi entitas politik kaum elite kerajaan. Sejak itu, royong hanya boleh ditanggap, ditonton, dan dinikmati oleh kalangan bangsawan. Tradisi sastra lisan yang semula subur di tengah rakyat jelata kemudian hidup di kitaran istana. Kaum hamba tidak boleh lagi menanggap rupa-rupa royong di gubuk mereka.

Seniman istana menentukan tata cara pertunjukan royong. Pertunjukan royong mesti diisi oleh beberapa paroyong. Paroyong hanya boleh dilantunkan oleh perempuan sepuh. Hitungannya harus ganjil. Bisa tiga, lima, tujuh, atau lebih. Busananya harus hitam-hitam. Tempat pentas pun mesti di baruga caddi (pendopo kecil) yang kadang dibuat khusus untuk paroyong.

Bahkan matra syairnya pun diatur, seperti berapa suku kata dalam satu baris dan berapa baris dalam satu syair. Ada aturannya. Langgam dan nada terserah paroyong, tetapi aturan main pertunjukan tidak boleh dilanggar. Penanggap paroyong juga harus menyediakan jajjakkang (sesajen) ketika ammuntuli (menjemput) para paroyong.

Jika aturan main itu dilanggar alamat dapat malapetaka. Penanggap pun hanya boleh dari kaum bangsawan. Ada hukum kasiratangngang (kederajatan). Jangankan strata ata (kelas hamba), golongan tumaradeka (kelas bebas) saja tidak boleh.

Mengulik Royong
Pada dasarnya royong adalah doa. Akroyong (melakukan royong) berarti berdoa. Royong pakkape sumangak (royong pemanggil sukma), misalnya, berisi doa agar bayi di dalam rahim ibunya tumbuh sehat dan lahir dengan selamat. Bahkan pelantikan raja di Kerajaan Gowa dan kawasan kerajaan palili (taklukan) dianggap tidak sah tanpa lantunan royong.

Itu sebabnya royong dianggap sakral. Pertunjukan royong sudah ditahbiskan sebagai ritual. Tidak heran jika kemudian pertunjukan sastra lisan royong biasanya dirangkaian dengan daur hidup di tengah masyarakat. Syukuran lahiran, hajat sunatan, pesta perkawinan, atau selamatan tujuh bulanan.

Setiap paroyong biasanya memiliki langgam khas. Jarang sekali kita temukan langgam royong yang serupa dari paroyong berbeda. Kreativitas personal sangat menentukan kualitas sajian. Namanya juga sastra lisan, rata-rata syair royong dihafal oleh paroyong. Bukan ditulis di lembar lontar.

Akibat aturan main yang ketat, pertumbuhan royong mulai terhambat. Pakem hanya boleh ditanggap oleh kalangan istana, kaum bangsawan, dan golongan tusiratang (orang sederajat) itulah yang membuat royong tidak sesubur sebelumnya. Di sisi lain, derajat dan martabat paroyong terangkat. Uang hasil tanggapan mampu menghidupkan dapur paroyong.

Royong akhirnya menjadi alat legitimasi kekuasaan.

Pewarisan Royong
Semasa bersekolah di SMKI Negeri Ujung Pandang, salah satu pelajaran yang saya sukai adalah sastra daerah. Kira-kira tahun 1992 saya sempat menemani guru teater saya, Siradjuddin Daeng Bantang, menemui seorang paroyong di Galesong Utara, Kab. Takalar, Sulawesi Selatan.

Bollo Daeng Badji namanya. Sampulungan nama kampung tempat paroyong karismatik itu. Beliau sudah sepuh. Meski begitu, getar suaranya tetap berkarisma. Syahdunya hingga ke tulang sumsum. Merdunya mampu menembus sukma. Ketika beliau berdendang, bulu-bulu kuduk saya kompak berdiri.

"Royong diwariskan hanya kepada anak atau kemenakan perempuan," ujar beliau dalam tempo pelan dan lembut. "Tidak bisa sembarangan waktunya. Harus menunggu wangsit leluhur."

Rekaman percakapan itu tersimpan dengan baik di batok kepala. Terkait pewarisan atau pelimpahan royong, konon, dipenuhi aura mistis. Jika saatnya tiba, sebuah wadah bernama bakuk karaeng (bakul pusaka) yang terbungkus kain putih akan muncul di sekitar ahli waris. 

Kotak itu berisi peralatan musik yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan royong. Isinya anak baccing, kancing, dan lea-lea.

Metode pewarisan yang berbasis keluarga itu pula yang menjadi faktor penghambat perkembangan royong. Bayangkan jika anak atau kemenakan pewaris menolak menjadi penerus tradisi royong. Jika itu terjadi, satu paroyong tidak terganti. Tidak ada penerus. Tradisi terputus. Sastra lisan terancam punah.

Nasib Royong Hari Ini
Proses pewarisan royong yang eksklusif membuat keran regenarasi royong tersumbat. Belum lagi, royong bukan termasuk bagian dari sastra lisan Makassar yang diajarkan secara intensif di sekolah dasar atau menengah.

Jadi, tidak heran kalau anak milenial sama sekali asing pada royong. Sistem pendidikan kita lebih mengutamakan bidang studi tertentu. Adapun seni budaya lokal dan tradisonal tidak mendapat tempat di dalam kurikulum. 

Dampaknya, pelajar tidak akrab dengan budaya atau tradisi lokal. Belajar main kecapi dianggap norak, sedangkan main gitar dianggap modern.

Metode pewarisan dan sistem pendidikan membuat keran regenarasi paroyong makin macet. Gagang putarannya malah karatan. Sekarang, di tanah rantau, saya malah sudah jarang mendengar kiprah paroyong. 

Kalaupun ada, biasanya seniman yang berkreasi secara inovatif untuk mengawetkan dan melestarikan royong. Itu pun jumlahnya bisa dihitung jari. Saya teringat dua orang guru informal, Syarifuddin Daeng Tutu dan Chaeruddin Hakim. Keduanya menempuh jalan sunyi demi melestarikan royong.

Saya sendiri sering mengadopsi royong ketika tampil membaca puisi. Bahkan beberapa kali tampil sebagai pakkiok bunting dengan menggunakan langgam royong. Lumayan. Ditanggap sebagai paroyong laki-laki, bagi saya, merupakan bagian dari pengabadian sastra lisan Makassar sekalipun jauh dari tanah kelahiran.

Jika Pemprov Sulsel tidak serius memperhatikan royong, juga sastra lisan lain seperti sinrilik, besok-besok kita akan membacakan talkin bagi royong. Salah-salah malah mengucapkan:

Telah wafat tradisi sastra lisan Makassar, Royong. Selamat jalan, Royong. Damailah sebagai kenangan!

Ronggacemas, 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun