Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Biarkan PA 212 Menumpahkan Retorika Bela Agama

27 Juni 2019   10:27 Diperbarui: 27 Juni 2019   12:41 2445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi massa di Jalan Medan Merdeka Barat pada Rabu, 26/6/2019 | Foto: TribunJakarta.com/Muhammad Rizki Hidayat

Babak akhir Pilpres 2019 sudah di depan mata. Siang ini, Mahkamah Konstitusi akan memutuskan memenuhi atau menolak gugatan Tim Kuasa Hukum (TKH) Prabowo-Sandi. Riak kembali muncul ke permukaan.

Selaku pemohon dengan petitum gugatan dari 7 butir menjadi 15 butir, jelas TKH Prabowo-Sandi berharap banyak. Selaku pemohon dengan pengajuan gugatan yang semula puluhan halaman menjadi ratusan halaman, jelas TKH Prabowo-Sandi berharap banyak.

Dahnil Simanjuntak, Koordinatar Juru Bicara BPN, sangat yakin gugatan konco-konconya diterima. Pada sisi lain, Bambang Widjojanto selaku Ketua TKH Prabowo-Sandi mengaku sulit membuktikan tuduhan kecurangan tersruktur, sistematis, dan masif. Bahkan dilansir Kompas.com, Pak BW menyatakan bahwa hanya intitusi negara yang bisa membuktikan kecurangan yang mereka tuduhkan.

Ini sungguh dilematis. Banyak meminta, tetapi mengakui sendiri betapa mereka susah menyajikan alat bukti yang kuat. Lebih tepatnya begini. Banyak unjuk gigi, tetapi kurang unjuk gigih. Lebih menghunjam lagi: hasrat besar tenaga kecil.

Keyakinan BPN dan keraguan TKH Prabowo-Sandi sedikit pun tidak melemahkan semangat pendukung. Kemarin misalnya, dikutip dari Tribunnews, Persatuan Alumni (PA) 212 turun ke jalan menunjukkan dukungan.
Hari ini mereka berencana kembali turun ke jalan. Bodoh amat Polri tidak mengizinkan. Mereka tebalkan kuping. Tujuan mereka turun ke jalan jelas untuk menunjukkan empati. Mereka pertegas empati pada "siluet kegagalan Prabowo yang hampir tiba".

Empati pada Pihak yang Mungkin Kalah
Ustaz Asep Syarifudin menyerukan agar seluruh alumni demonstrasi akbar 212 kembali memperlihatkan taring. Yang kemarin (Rabu, 26/6/2019) datang supaya mengajak yang lain. Biar lebih ramai. Biar target sejuta umat terpenuhi. Biar empati mereka kepada Pak Prabowo tampak lebih berhati.

Tidak. Kemasan kata lewat frasa "bela agama" jangan terlalu diambil hati. Itu basa basi belaka. Dengan kata lain, sekadar simbol supaya kesannya lebih religius. Agak sumir jika sengketa perselisihan hasil pemilu dikait-kaitkan atau dicocok-cocokkan dengan gairah membela agama.

Apakah para Hakim Mahkamah Konstitusi sedang menghina agama? Jika ya, bagian mana dari agama yang dihina? Jika ada, seperti apa bentuk penghinaannya? Rasa-rasanya ketiga pertanyaan ini sukar bersua jawaban. Dengan kata lain, bela agama tidak lebih dari permainan kata belaka.

Itulah sebabnya saya menyebut aksi PA 212 merupakan ejawantah rasa empati kepada sokongan mereka. Betapa tidak. Bahkan Pak BW saja ragu bakal menang di sidang PHPU. Bagi pendukung sejati dan sehati, mustahil membiarkan Pak Prabowo sendirian menanggung derita kalah.

Terkait empati, alumni aksi 212 paham benar bahwa adalah "emosi kuat atau gairah membara", seperti makna dalam kata asalnya, empathia, dari bahasa Yunani. Mereka pun pasti khatam soal empati, yang dalam bahasa Jerman disebut einfuhlung atau "perasaan menjadi". Itulah yang tengah mereka perlihatkan: pameran empati.

Jadi, sungguh nahas jika mereka bersungguh-sungguh membela Pak Prabowo dan Pak Prabowo malah terlihat seperti pasrah menunggu nasib.

Adil Bukan Sekadar Retorika
Bagi kubu yang tidak setuju pada aksi alumni 212, mestinya santai-santai saja. Tidak usah mencak-mencak. Apalagi mengamuk atau marah-marah.

Begini. Apa pun nama aksi yang kembali akan digelar oleh PA 212, biarkan saja. Persoalan polisi tidak memberi izin karena ketidakjelasan rencana aksi, biarkan saja. Sebaiknya malah perlu membelek mata untuk melihat dari sisi berbeda. PA 212 sedang mempersiapkan pertunjukan kebenaran.

Pertama, mengawal Mahkamah Konstitusi. Itu tujuan mulia. Para Hakim MK mesti diberi ruang selapang-lapangnya untuk menyampaikan putusan PHPU dengan setenang-tenangnya. Kalau ada yang ribut dan ricuh, berarti mereka menelan ludah yang mereka percikkan sendiri.

Kedua, meminta para Hakim MK memutus perkara dengan seadil-adilnya. Itu seruan luhur. Para Hakim MK memang harus sekeras-kerasnya menilai proses sidang supaya menghasilkan putusan yang seadil-adilnya. Kalau bukti dan fakta dalam sidang mengharuskan para Hakim MK menolak gugatan, berarti itulah putusan yang adil.

Ketiga, mengimbau Pak Prabowo agar tidak menerima rekonsiliasi gara-gara tawaran kursi menteri. Itu imbauan yang agung. Pak Prabowo pasti paham untuk apa Pemilihan Umum dilaksanakan. Kalau semua partai otomatis dapat kursi dalam pemerintahan, sia-sialah pemilu dengan biaya triliunan dan menelan banyak korban. Biarlah Pak Prabowo dan partai koalisinya bertahan sebagai oposisi.

Dari ketiga alasan masuk akal di atas, terang bahwa PA 212 tengah memperjuangkan keadilan. Yang sekubu boleh mendukung sesuai keinginannya. Yang tidak sekubu bisa berdecak-decak sambil menggeleng-geleng. Sebab, PA 212 secara tersirat sedang memperjuangkan keadilan.

Jika gugatan diterima, itulah keadilan. Jika gugatan ditolak, itu juga keadilan. Sebagai pihak yang "tahu agama", PA 212 pasti mafhum.

Akhir Fantasi Menang
Semua orang punya fantasi, sama seperti setiap orang punya rasa takut. Pesta demokrasi yang baru kita jalani, yakni Pilpres 2019, adalah lahan subur bagi tumbuh kembang fantasi. Maka rimbunlah pohon fantasi kemenangan. Pohon fantasi kemenangan itu berbuah euforia.

Manakala buah euforia sudah mendekati matang, lahirlah ketakutan. Codot bisa sewaktu-waktu datang dan melahap buah itu. Codot punya nama lain, kelelawar di antaranya. Pesta kemenangan bisa pupus apabila pesta codot duluan berlangsung. Di sinilah perihnya karena besarnya peluang rasa takut tiba-tiba nongol.

Ketakutan menerima hasil yang bertolak belakang dengan kegagalan niscaya menghantui siapa saja yang ikut dalam kompetisi. Apa pun nama dan bentuknya. Apalagi ikut kontestasi pemilihan presiden yang mengeruk kerak harta dan fosil semangat. Dalam Inkdeath, Cornelia Funke menengarai bahwa ketakutan dapat membunuh segala-galanya. Ketakutan, kata Funke, dapat membunuh akal, hati, dan fantasi.

Coba kita lihat. Fantasi kemenangan sudah dirayakan dengan deklarasi dan sujud syukur. Hati juga sudah berbunga-bunga karena kehadiran persentase kemenangan, sekalipun angkanya berubah-ubah. Akan tetapi, celah kalah tidak pernah sanggup ditutupi serapat-rapatnya. Mengapa? Karena kemenangan itu berakar pada lubang fantasi yang menganga lebar.

Bisakah kita menerima kenyataan bernama kekalahan dengan lapang dada? Tidak semua pihak bisa menerima kekalahan. Pasti ada segelintir orang, baik di kubu Prabowo maupun Jokowi, yang sulit menerima kekalahan. Inilah titik tumpunya. Jadi, jangan recehkan perasaan orang yang kalah. Sedihnya minta ampun, sakitnya bukan main.

Dengan demikian, terlepas dari hasil permufakatan para Hakim MK, biarkan PA 212 menumpahkan fantasinya. Kalaupun nanti mereka tidak mampu menerima kekalahan, andai gugatan TKH Prabowo-Sandi ditolak, itu sesuatu yang fantastis. Mengapa? Sebab, agama punya "kurikulum ikhlas" yang dijabarkan lewat "bidang studi Tulus".

Singkat cerita, berikan ruang bagi PA 212 untuk berekspresi. Mau mereka sebut aksinya dengan bela agama, biarkanlah. Mau mereka sebut halalbihalal, biarkanlah. Biarkan mereka bahagia. [khrisna]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun