Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Jangan Hina Ibu Saya

7 April 2019   18:22 Diperbarui: 7 April 2019   22:14 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diego da Silva Costa harus meninggalkan lapangan hijau sebelum babak pertama usai. Wasit mengusir penyerang Atletico Madrid itu pada menit 28. Alhasil, 10 pemain Atletico harus melawan 11 pemain Barcelona.

Usut punya usut, ternyata Costa berlebihan ketika memprotes wasit, Jesus Gil Manzano. Sang Pengadil, dengan mimik teguh dan sikap tubuh yang kukuh, tanpa ragu menarik kartu merah dari saku bajunya. Ia tetap gigih pada keputusannya, sekalipun Costa meradang tepat di depan matanya.

Dalam dunia sepak bola yang keras sekaligus indah, protes pemain atas keputusan wasit bukanlah sesuatu yang tabu. Meski begitu, ada ganjarannya. Kalau wasit menaksir pemain terlalu lebay, ada senjata bernama kartu kuning. Namun, Manzano langsung memberkati Costa dengan kartu merah.

Apa pasal sehingga Manzano berlaku demikian? Ternyata Costa dua kali menghina ibunya. Dengan mata membelantang, Costa menghujat wasit dengan kalimat yang tidak pantas dalam bahasa Spanyol. Me cago en tu puta madre. Makian itu diulang dua kali. Sekali saja sudah keterlaluan, apalagi dua kali.

I shit on your bitch mother. Kurang lebih begitu terjemahannya dalam bahasa Inggris sebagaimana dilansir oleh Tribuna.com. Menghina ibu orang lain sebagai "jalang" sungguh tak beradab. Perilaku buruk sedemikian tidak patut dibiarkan. Itu sebabnya Manzano mencabut kartu merah.

Riwayat Costa di jagat sepak bola memang masyhur sebagai pemain bengal. Ia liat, alot, dan ulet. Ia tidak mengenal jeri walau harus berbenturan atau bersitegang dengan pemain lawan. Apesnya, kali ini ia menghina wasit. Insiden yang mestinya tidak perlu, sebab menggerus ketangguhan timnya.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Kisah Tandukan Zidane

Sepak bola kerap menyuguhkan kejutan. Laga besar di liga mana pun pasti digelimuni drama.

Suatu kala, 9 Juli 2006, Zidane memimpin Timnas Prancis melawan Timnas Italia di babak final Piala Dunia 2006. Laga itu sangat seru. Zidane membuka harapan rakyat Prancis setelah golnya mengoyak jala gawang Buffon. Kala itu laga baru berlangsung tujuh menit.

Waladin, beberapa menit berselang giliran Marco Materazzi yang menggelorakan asa warga Italia. Bek jangkung itu memaksa laga menjadi imbang. Hingga dua babak dalam waktu normal usai, skor tidak berubah.

Kemudian, terjadilah insiden yang mencengangkan. Materazzi menarik kaus Zidane. Kapten Tim Ayam Jantan pun memelototi Materazzi. Ada baku debat di situ. Ada adu bacot di situ. Lalu Zidane berbalik dan menanduk dada Materazzi. Sang bek lawan terjengkang dan terpangah. Pemirsa di seantero bumi terjelengar dan terpangah.

Tidak ada yang menduga bahwa Zidane yang kalem dapat terhasut sebegitu rupa. Tidak ada yang menyangka Zizou, sapaannya, bisa seberingas itu. Kartu merah pun ia terima dengan ikhlas. Ia tinggalkan lapangan dengan kepala tegak. Laga dilanjutkan. Italia berhasil mengalahkan Prancis lewat adu penalti.

Mengapa Zizou begitu marah? Dua tahun setelah laga final yang seru itu barulah ia mau "buka mulut". Kata Zizou, ia tidak suka ibunya disebut teroris. Baginya, itu penghinaan luar biadab. Materazzi membantah. Katanya, ia hanya meledek adik perempuan Zizou sebagai pelacur. 

Hingga kini tidak terdengar kabar keduanya rukun dan saling memaafkan. Zizou sendiri tidak menyesali tindakannya menanduk dada Materazzi.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Kisah Tantangan Suarez

Banyak yang menduga karier Suarez akan melorot tajam akibat perangai vampirnya menggigit kuping lawan.

Untung saja penyerang haus gol itu pindah dari Liverpool ke Barcelona. Suarez menepis dugaan itu. Semula banyak yang meramalkan tabiat bengal Suarez suatu saat pasti kumat. Namun, Si Pistol menangkis ramalan itu.

Hingga pada suatu ketika Suarez meradang. Kala itu, 7 Januari 2015, Suarez melaung di lorong menuju ruang ganti di Stadion Camp Nou. Ia menantang pemain Espanyol, Papakouli Diop, bertarung satu lawan satu.

Apa gerangan pangkal soalnya hingga Suarez bersikap seperti itu? Syahdan, ia tidak menerima ibunya dihina sebagai pekerja seks komersial oleh Diop. Ia tidak peduli apa yang bakal terjadi. Baginya, membela kehormatan ibu adalah sesuatu yang niscaya ia lakukan sebagai seorang putra.

Tantangan Suarez kepada Diop memang tidak memengaruhi hasil akhir laga. Barcelona mengalahkan tetangganya, Espanyol, dengan skor 4-1. Meski begitu, Suarez harus menerima sanksi atas perbuatannya memicu kericuhan.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Berhentilah Menghina Ibu Orang Lain

Tiga kisah di atas hanyalah secuil dari sekian cuil insiden hina-menghina di lapangan hijau. Hinaan terhadap sosok, terutama ibu dan saudara perempuan, juga paruh kecil saja dari bagian besar caci-mencaci.

Bahkan, ejek-mengejek tidak hanya terjadi antara pemain dengan pemain, atau dari pemain kepada wasit, karena acap pula terdengar nyanyian suporter yang beraroma rasis atau fasis kepada pemain lawan. Belum lagi perseteruan antarsuporter. Uh, dahsyat sekali.

Di luar lapangan sepak bola juga sering terjadi ejek-mengejek yang berujung pada "sakit hati tak berkesudahan". Pilpres dan Pileg, misalnya, tak dinyana memerosotkan perangai kita sampai tega hina-menghina. Sapaan buruk menjadi kebiasaan, mengumbar aib orang menjadi hobi, dan fitnah tiba-tiba menjadi profesi.

Lebih fatal lagi, tak jarang ada orang yang dengan sengaja menghina ibu orang lain demi meraup puja-puji. Ada pula yang berniat membakar hati orang, eh, malah sewot dan membakar jenggot sendiri. Sindir-menyindir dengan kubu lawan ternyata belum cukup, lalu terjadilah kuak-menguak aib kawan sekubu. Ajaib nian!

Jauh lebih fatal lagi, di luar perkara politik, ada yang tanpa sengaja atau dengan sengaja menghina ibunya sendiri. Yang telah dewasa membentak ibunya yang sudah renta dan rentan terluka, yang masih muda membantah ibunya karena merasa tahu zaman dan lebih kekinian.

Semoga kita semua, baik yang menghina maupun yang dihina, tidak lupa bahwa kita pernah mendekam berbulan-bulan lamanya di dalam rahim ibu. Semoga kita menyadari hal itu sebelum kita menerima "kartu merah" dari Tuhan. [khrisna]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun