Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Agama Cinta Versus "Agama Benci"

5 September 2018   11:01 Diperbarui: 5 September 2018   11:44 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: dutaislam.com

Saripati semua agama adalah cinta kasih. Bukan kebencian, bukan kemarahan. Islam juga begitu. Bahkan saat dihina dan dizalimi sekalipun, Islam tetap menganjurkan ketabahan.  

Tersebutlah dalam hadis sebuah riwayat ketika Rasulullah dan para sahabat sedang duduk-duduk di masjid. Kemudian, seorang dari suku Arab Badui masuk ke masjid, berdiri di salah satu pojok, dan kencing dengan tenang.

Para sahabat kontan merasa jengkel. Mereka ingin menghardik dan mengusir orang tersebut agar tidak mengotori masjid dengan najis berupa air kencing. Andai kata tidak ditahan oleh Rasulullah, para sahabat pasti sudah mendatangi si tukang kencing di sembarang tempat itu.

Para sahabat heran. Biar bagaimanapun, masjid adalah tempat beribadah yang harus suci dari najis. Namun, Rasulullah tetap tenang. Beliau menganjurkan supaya para sahabat menahan diri dan membiarkan orang Badui itu menuntaskan hajatnya.

Ketika orang tersebut sudah selesai kencing, Rasulullah meminta salah seorang sahabatnya untuk mengambil setimba atau seember air untuk menyiram air kencing itu. Bahkan setelah orang Badui itu selesai kencing, Rasulullah justru meminta supaya bekas air kencing itu dibersihkan. Beliau tetap meminta para sahabat agar tidak memarahi apalagi menghajar orang itu.

Begitulah cara Rasulullah menghadapi kelakuan yang amat keterlaluan itu. Rasulullah menahan gelegak marah para sahabat beliau. Dengan tenang beliau bersabda, "Kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk membuat kesulitan."  

Andai kata beliau biarkan para sahabat menghardik "juru pipis" tersebut, barangkali orang itu akan tergesa-gesa menghentikan ritual hajatnya. Akibatnya bisa menjadi-jadi. Air seni muncrat ke mana-mana, aurat orang tersebut terlihat oleh banyak orang, dan mungkin saja orang itu sakit sebab terpaksa menahan kencing.

Belum lagi dampak psikologis akibat pelarangan. Orang yang kencing itu akan menyangka Islam bukan agama yang penuh cinta kasih seandainya acara "pengosongan kandung kemih" dilarang. Yang terjadi justru sebaliknya. Ia saksikan bekas air kencingnya dibersihkan. Perangai buruk dan busuknya malah ditanggapi secara lemah lembut alih-alih penuh kebencian.

Dengan cara yang lembut dan penuh cinta kasih, Rasulullah memperlihatkan wajah Islam yang ramah. Beliau mempertontonkan agama yang rahmah. Beliau mempertunjukkan agama yang tidak mudah marah atau piawai mengelola rasa marah.

Dokpri
Dokpri

"Maafkanlah orang yang menzalimimu." (HR Ahmad)

Sekarang, mari sejenak kita renung-renungkan. Dewasa ini, sebagian kecil pengikut Rasulullah sepertinya mulai lupa cara memperlihatkan wajah Islam yang ramah, yang rahmah, yang tidak mudah marah. Sebagian kecil dari sebagian yang kecil itu malah mempertontonkan Islam yang mudah tersulut, gampang mengamuk, dan sedikit-sedikit main hakim sendiri.

Tidak. Saya tidak mengatakan semuanya. Hanya sebagian kecil. Barangkali cuma segelintir. Namun, yang segelintir dan mudah marah itu justru lebih disorot banyak orang ketimbang yang banyak dan masih ramah. Pada kasus Meilliana yang mempertanyakan suara azan, misalnya. Setidaknya hanya ditaksir 20 orang, silakan tilik beritanya di Tempo, yang merusak sedikitnya tiga vihara, delapan kelenteng, dua yayasan Tionghoa, satu tempat pengobatan, dan rumah Meiliana.

Mungkin tidak apa-apa seandainya tetangga Meiliana yang beragama Islam merasa tersentil atau tersinggung akibat lantang suara azan dipertanyakan. Mungkin, ya. Akan tetapi, kemarahan berlebihan yang dipertunjukkan lewat perusakan bukanlah Islam yang ramah.

Apa yang akan terjadi sekarang andai kata ada seseorang yang masuk ke masjid lalu kencing di salah satu sisinya? Apakah masih ada di antara kita yang setabah Rasulullah dalam menahan diri? Akankah kita masih akan setangguh para sahabat dalam mengikuti anjuran Rasulullah untuk tabah dan menahan marah?

Maafkanlah orang yang menzalimimu. Bahkan seandainya kita dizalimi sekalipun, Rasulullah meminta kita untuk memaafkan. Bukan main bakar, main rusak, atau main hakim sendiri. Bukan meradang, mengamuk, lalu menghancurkan apa saja yang ada. Memaafkan. Sekali lagi, memaafkan.

Sekarang coba kita renungkan dampak akibat perusakan rumah ibadat umat beragama lain dan bandingkan dengan efek psikologi dari cara Rasulullah memperlakukan orang Badui yang kencing di masjid. Jauh tanah dari langit. Jauh pungguk dari bulan.

Apakah segelintir orang yang merusak rumah ibadah itu sempat memikirkan ke mana penganut agama, yang rumah ibadatnya dirusak, akan bersembahyang atau beribadat? Apakah sedikit yang merusak itu merenungkan tanggapan umat beragama lain terhadap Islam? Bukankah perbuatan merusak itulah yang justru akan mencoreng keluhuran dan menistakan Islam?

Sungguh menyedihkan. Wajah Islam seperti yang hendak kita perlihatkan kalau bukan rupa Islam seperti yang ditampilkan oleh Rasulullah? Islam bukan agama yang mengajari umatnya suka marah apalagi merusak, bukan. Islam bukan agama yang menganjurkan penganutnya menzalimi orang lain atau membalas "pertanyaan dengan perusakan", bukan.

"Seburuk-buruk orang adalah yang tidak bisa diharap kebaikannya dan orang lain tidak aman dari kejahatannya." (HR At-Tirmidzi)

Tersebutlah dalam salah satu riwayat. Pada satu ketika Rasulullah bersama seorang sahabat sedang salat di Ka'bah. Di dalam Ka'bah sudah ada Abu Jahal dan konco-konconya. Abu Jahal segera menyuruh temannya untuk mengambil kotoran. Uqbah bin Mu'ith sontak memenuhi perintah itu.

Dengan sadis, Abu Jahal melemparkan kotoran tersebut ke arah Rasulullah yang tengah dalam keadaan sujud. Kotoran berbau busuk itu menimpa punggung dan kepala Rasulullah sehingga mengotori pakaian beliau. Akan tetapi, Rasulullah tetap bersujud dengan khusyuk.

Tidak seorang pun sahabat Rasulullah yang berani membersihkan kepala dan punggung beliau. Orang-orang merasa ngeri dan jeri pada Abu Jahal. Hingga seseorang menemui Fatimah. Barulah Rasulullah mengangkat kepala dan merampungkan salatnya setelah Fatimah membersihkan kepala dan punggungnya.

Apakah beliau marah dan mengamuk? Tidak. Beliau tetap meneruskan salat alih-alih meradang dan menerjang Abu Jahal. Terlepas dari sejahat dan sebengis apa pun Abu Jahal, Rasulullah senantiasa tabah menahan rasa marah.

Pada kisah lain, tersebutlah seorang nenek tua sebatang kara yang sangat membenci Rasulullah. Tiap hari saat berangkat ke masjid untuk salat Subuh, Rasulullah harus melewati rumah si nenek itu. Tiap hari pula beliau dilempari kotoran dan setiap lemparan beliau jawab dengan senyuman.

Hingga suatu ketika Rasulullah heran. Tidak ada si nenek di loteng rumahnya. Tidak ada kotoran yang jatuh dan menimpa Rasulullah. Seusai salat, Rasulullah menanyakan ke mana perginya si nenek. Seorang sahabat merasa aneh karena Rasulullah menanyakan perempuan yang selalu mengirim kotoran kepada beliau. Sahabat itu pun menjawab bahwa si nenek sedang sakit.

Dalam perjalanan pulang, Rasulullah singgah di rumah nenek tersebut. Beliau membersihkan rumah si nenek, menimbakan air, dan memasakkan makanan. Bahkan, menyuapi si nenek dengan cinta kasih yang tulus tanpa setitik pun rasa benci.

Rasulullah menunjukkan sisi Islam yang ramah. Beliau perlihatkan wajah Islam yang penuh cinta kasih. Kejahatan dibalas dengan kebaikan. Kebencian dijawab dengan kelembutan. Tidak ada kemarahan, yang ada keramahan.

Sekarang mari kita renungkan peristiwa beberapa hari lalu, silakan dibaca di Fajar, tentang seorang yang menghina sekelompok Muslim dan menggerung dengan keras. Kata lelaki bersuara keras itu, "Islam tahi!"

Kalaupun dia seorang Muslim, kita tidak perlu marah sebab Islam bukan tahi. Islam adalah agama luhur dan mulia. Membalas olok-olokan itu dengan kemarahan justru berlawanan dengan teladan Rasulullah. Keramahanlah yang seyogianya kita tampakkan, bukan kemarahan.

Pada akhirnya, seseorang yang berteriak dengan lantang dan galak itu meminta maaf. Apakah kita mesti memaafkannya? Ya, maafkanlah. Begitulah anjuran Rasulullah.

"Berbuat baiklah kepada orang yang berbuat jahat kepadamu." (HR Ahmad)

Belakangan ini, rasa-rasanya sensitivitas keagamaan kita meningkat. Bukan meningkat ke arah yang makin ramah, melainkah ke arah yang kian marah. Sesama Islam saja saling benci. Sesama Islam saja saling caci. Sesama Islam saja saling larang.

Toleransi. Kata ini rasanya makin mahal diwujudkan, makin sukar dilakukan. Jangankan toleran kepada umat berbeda agama, toleransi pada sesama umat Islam saja rasanya kian berat. Hal ini tecermin pada peristiwa masjid yang batal dibangun, silakan baca kabarnya di Republika, lantaran sekelompok Muslim tidak sepaham dengan warga yang hendak membangun masjid.

Padahal izin warga sekitar sudah terpenuhi. Padahal izin dari pemerintah setempat sudah tercukupi. Padahal izin mendirikan bangunan dari Pemerintah Daerah sudah dikantongi panitia. Namun, perbedaan paham membuat masjid itu batal digunakan beribadah pada Ramadan beberapa waktu lalu.

Kepekaan kita menguat, namun arahnya cenderung melenceng. Hanya segelintir, tidak semua. Namun akibat perangai yang segelintir itu justru, tanpa sadar, mencoreng keluhuran ajaran Islam. Bahkan Rasulullah menganjurkan kita supaya tidak merasa lebih beriman dibanding yang lain. Bahkan ada hadis yang menyatakan membandingkan antara akhir takdir bagi si pendoa dan si pendosa. Akan tetapi, sepertinya kepekaan yang cenderung ke arah keliru itu tidak surut jua.

Banyak peristiwa yang mempertontonkan alangkah mudah kita tersulut dan marah dan main hakim sendiri. Banyak sekali. Contoh-contoh di atas sebatas penopang tafakur kita saja. Ada yang mesti kita benahi di dalam diri kita. Ada yang mesti kita kelola dengan baik di dalam diri kita.

Namanya kemarahan.

"Demi Allah, tidak sempurna imannya, tidak sempurna imannya, tidak sempurna imannya." Para sahabat bertanya siapakah yang tidak sempurna imannya itu. Rasulullah menjawab, "Orang yang tetangga-tetangganya tidak aman dari keburukan-keburukannya." (HR Bukhari dan Muslim)

Setiap orang punya masa lalu. Setiap orang punya sisi buruk. Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Yang terbaik di antara pemilik masa lalu kelam, sisi buruk suram, dan kesalahan fatal itu adalah yang mau dan berusaha memperbaiki diri.

Adapun orang lain di sekitarnya bukan hakim yang berhak mengadili si pemilik kesalahan. Teman berbuat salah, peringatkan. Bukan diam-diam kita gunjingkan di belakang punggungnya. Bukan diam-diam kita dorong ke dalam lubang agar ia terjatuh dan tamat riwayatnya.

Selalu ada orang di sekitar kita yang mengidap filopolemik. Orang-orang seperti itu rajin memancing di air keruh. Suka memancing keributan. Gemar bertengkar. Doyan menyulut ribut. Sedikit-sedikit jadi biang kerok, sedikit-sedikit memantik rusuh.

Apa yang mesti kita lakukan apabila bertemu dengan orang berperangai demikian? Jawabannya ringkas. Jaukah diri dari tabiat ekopraksia alias latah meniru tingkah laku yang buruk pada orang lain. Ketika orang-orang berbuat buruk, tidak usah latah gara-gara ingin dicap "pembela agama".

Rasulullah sudah meninggalkan warisan luar biasa. Islam agama cinta, bukan agama benci. Islam sangat ramah, bukan mudah marah.

Salam takzim. [kp]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun