Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Agama Cinta Versus "Agama Benci"

5 September 2018   11:01 Diperbarui: 5 September 2018   11:44 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: dutaislam.com

"Maafkanlah orang yang menzalimimu." (HR Ahmad)

Sekarang, mari sejenak kita renung-renungkan. Dewasa ini, sebagian kecil pengikut Rasulullah sepertinya mulai lupa cara memperlihatkan wajah Islam yang ramah, yang rahmah, yang tidak mudah marah. Sebagian kecil dari sebagian yang kecil itu malah mempertontonkan Islam yang mudah tersulut, gampang mengamuk, dan sedikit-sedikit main hakim sendiri.

Tidak. Saya tidak mengatakan semuanya. Hanya sebagian kecil. Barangkali cuma segelintir. Namun, yang segelintir dan mudah marah itu justru lebih disorot banyak orang ketimbang yang banyak dan masih ramah. Pada kasus Meilliana yang mempertanyakan suara azan, misalnya. Setidaknya hanya ditaksir 20 orang, silakan tilik beritanya di Tempo, yang merusak sedikitnya tiga vihara, delapan kelenteng, dua yayasan Tionghoa, satu tempat pengobatan, dan rumah Meiliana.

Mungkin tidak apa-apa seandainya tetangga Meiliana yang beragama Islam merasa tersentil atau tersinggung akibat lantang suara azan dipertanyakan. Mungkin, ya. Akan tetapi, kemarahan berlebihan yang dipertunjukkan lewat perusakan bukanlah Islam yang ramah.

Apa yang akan terjadi sekarang andai kata ada seseorang yang masuk ke masjid lalu kencing di salah satu sisinya? Apakah masih ada di antara kita yang setabah Rasulullah dalam menahan diri? Akankah kita masih akan setangguh para sahabat dalam mengikuti anjuran Rasulullah untuk tabah dan menahan marah?

Maafkanlah orang yang menzalimimu. Bahkan seandainya kita dizalimi sekalipun, Rasulullah meminta kita untuk memaafkan. Bukan main bakar, main rusak, atau main hakim sendiri. Bukan meradang, mengamuk, lalu menghancurkan apa saja yang ada. Memaafkan. Sekali lagi, memaafkan.

Sekarang coba kita renungkan dampak akibat perusakan rumah ibadat umat beragama lain dan bandingkan dengan efek psikologi dari cara Rasulullah memperlakukan orang Badui yang kencing di masjid. Jauh tanah dari langit. Jauh pungguk dari bulan.

Apakah segelintir orang yang merusak rumah ibadah itu sempat memikirkan ke mana penganut agama, yang rumah ibadatnya dirusak, akan bersembahyang atau beribadat? Apakah sedikit yang merusak itu merenungkan tanggapan umat beragama lain terhadap Islam? Bukankah perbuatan merusak itulah yang justru akan mencoreng keluhuran dan menistakan Islam?

Sungguh menyedihkan. Wajah Islam seperti yang hendak kita perlihatkan kalau bukan rupa Islam seperti yang ditampilkan oleh Rasulullah? Islam bukan agama yang mengajari umatnya suka marah apalagi merusak, bukan. Islam bukan agama yang menganjurkan penganutnya menzalimi orang lain atau membalas "pertanyaan dengan perusakan", bukan.

"Seburuk-buruk orang adalah yang tidak bisa diharap kebaikannya dan orang lain tidak aman dari kejahatannya." (HR At-Tirmidzi)

Tersebutlah dalam salah satu riwayat. Pada satu ketika Rasulullah bersama seorang sahabat sedang salat di Ka'bah. Di dalam Ka'bah sudah ada Abu Jahal dan konco-konconya. Abu Jahal segera menyuruh temannya untuk mengambil kotoran. Uqbah bin Mu'ith sontak memenuhi perintah itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun