Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Rindu dan Cemburu Itu Sama-sama Cinta

26 Juli 2018   13:48 Diperbarui: 28 Juli 2018   20:53 2712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Selasa (17/7/2018), saya ajukan tiga pilihan tema artikel kepada jamaah Twitter. Dari 101 pemilih, 68% memilih Antara Rindu dan Cemburu, 24% memilih Suatu dan Sesuatu, sedangkan Ini dan Itu hanya mendapat 8% pemilih.

Walaupun Rindu dan Cemburu jadi tumpuan artikel, topiknya tetap bahasa Indonesia dengan kata yang kerap membingungkan dan tertukar pemakaiannya sebagai pijakan udaran.  

Selamat membaca, semoga berguna.

Twitter @1bichara | Dokpri
Twitter @1bichara | Dokpri
Bagi Tami, awal kedekatannya dengan Remba mudah diingat. Setahun lalu sewaktu Tami KKN di sebuah desa di ujung barat Kabupaten Bogor, di kaki Gunung Halimun, di kampung yang fakir sinyal.

Begini ceritanya. Kala itu ia sedang bergegas untuk menolong persalinan seorang ibu muda. Hujan deras, jalan kaki sejauh sekilo bersama teman-teman KKN sepondoknya, dan tiba di rumah yang dituju dengan tubuh basah kuyup. Di ruang tengah rumah, seorang lelaki muda menggendong bayi.

Tali pusar bayi itu belum digunting. Ibu yang baru saja melahirkan masih ngap-ngapan, megap-megap bak kehabisan napas, dan suaminya tertawa seraya terisak-isak mengumandangkan azan seakan-akan sesuatu yang mengkhawatirkan sudah berlalu.

Tami lekas-lekas mengeluarkan perkakas dari tas, melakukan apa yang mesti ia lakukan, menyelesaikan apa yang mesti ia selesaikan, dan tiba-tiba hatinya bertanya-tanya siapa gerangan lelaki yang membantu persalinan si ibu tanpa rasa ragu.

Lelaki itu tidak ditemani siapa-siapa. Hanya doa si suami dan rintih si istri. Siapa lelaki muda itu, pikir Tami. Sangat berani, sangat bernyali. Seolah-olah tidak gentar melakukan kesalahan. Lelaki itu menyalami Tami.

"Namaku Munsyi Apparemba. Kamu bisa memanggilku Munsyi atau Remba, asal bukan Cinta."

Tami tertawa mendengar guyon Remba. "Garing!"

"Ada sesuatu di matamu yang suatu ketika pasti kurindukan!"

"Gombal!"

"Barangkali kamu tidak bisa membedakan suatu dengan sesuatu. Baik, akan kujelaskan untukmu." Ia tertawa tanpa mengindahkan mata Tami yang mendelik. "Kata suatu semakna dengan satu. Jadi kita bisa menyebut 'pada suatu hari', tetapi tidak bisa mengatakan 'pada sesuatu hari'. Paham, Neng?"

Sebelum Tami menjawab, Remba kembali berkata, "Beda dengan sesuatu, kata suatu dapat diikuti langsung oleh kata benda. 'Pada suatu ketika saya pasti melihat senyummu lagi', itu contohnya. Bandingkan dengan kalimat ini. 'Aku yakin di antara kita akan ada sesuatu!' Jelas?"

"Ada sesuatu yang belum kamu kenali pada dirimu sendiri!"

Remba tercengang. "Apa?"

"Sesuatu yang menyebalkan!"

Remba terbahak-bahak ketika berbalik, merunduk dan mencium bayi di atas kasur, lalu pamitan kepada tuan rumah. Ia masih tertawa ketika melambaikan tangan kepada Tami, tawa yang menandaskan rasa percaya diri yang tinggi. Begitu ceritanya.

Dokpri
Dokpri
Sepulang KKN, Tami tidak pernah bertemu dengan lelaki itu lagi. Sekali-kali tebersit keinginan bertemu, tetapi ia tidak tahu di mana ia dapat menemui Remba. Tami sadar, ia sedang diserang rindu. Ada sesuatu di dalam hatinya yang kadang menginginkan pertemuan.

Lalu, keajaiban tiba. Kadang kita mengimpikan sesuatu terjadi dan peristiwa impian itu terwujud secara tidak terduga. Itulah serendipiti. Tami mengalaminya. Ada sesuatu pada lelaki itu yang membuatnya ingin bertemu.

Rindu dan cemburu itu sama-sama cinta. Tak perlu sendu karena rindu, tak perlu risau karena cemburu. 

Pada satu sore, ketika Depok masih basah setelah diguyur hujan pagi tadi, Tami melihat lelaki itu. Remba duduk di depannya. Memunggunginya. Tepekur pada sebuah buku dan tidak terusik pada bising pengunjung kafe. Ia beranikan diri duduk di depan cowok berambut panjang itu.

Remba mendongak, tersenyum, lalu menunduk lagi. Seolah-olah Tami kalah menarik daripada buku yang sedang dibacanya.

"Maaf mengganggu," ujar Tami setelah mendeham. "Ada yang harus elu jawab atas pertanyaan gue ini. Pertama, dari mana kamu belajar membantu persalinan? Kedua, mengapa kamu nekat melakukan sesuatu yang dapat mencelakai orang lain?"

Tatapan Remba tetap tertuju pada buku.

Tami kesal. "Elu tuli?"

Remba menutup dan menaruh buku di atas meja. "Tiga pertanyaan."

"Cuma dua!"

"Tiga," bantah Remba tenang. Suaranya pelan. "Pertama, belajar membantu persalinan." Tami mengangguk. "Kedua, nekat melakukan sesuatu." Tami mengangguk lagi. "Ketiga, apakah saya tuli atau tidak."

Tami mendelik. Alisnya seketika bertaut. Keningnya mengernyit.

"Baiklah, akan saya jawab ketiga pertanyaanmu tadi."

"Dua!"

"Tiga!" Remba tersenyum. "Pertama, saya tidak pernah belajar membantu persalinan. Saya hanya berusaha mengatasi rasa panik. Kedua, saya bukan orang yang nekat. Saya sudah perkirakan kapan kalian datang. Ketiga, saya bukan orang tuli. Begitu jawaban atas ketiga pertanyaanmu itu."

Tami merasa ingin berada di tempat lain, tidak di hadapan cowok yang sangat menyebalkan ini, tetapi ia terkesima pada caranya menuturkan jawaban.

Dokpri
Dokpri

Rindu dan cemburu itu sama-sama cinta. Baik takar rindu maupun cemburu tidak boleh berlebihan. Secukupnya saja. Lebih sedikit saja dari semestinya, hati bisa terluka. 

Pertemuan ketiga juga terjadi tanpa disengaja. Masih di kafe yang sama. Remba duduk di meja yang sama, menghadap ke jendela, menekuri novel, dan acuh tak acuh pada suasana sekitar.

Tami duduk di kursi di depan Remba, membelakangi jendela, dan tidak berkata apa-apa hingga Remba menutup novel yang ia baca.

"Tiga pertanyaan lagi?"

Tami menggeleng. "Kamu suka meja ini?"

Remba menggeleng. "Sering duduk di sini bukan berarti suka pada meja ini."

"Aneh!"

"Sering dan suka itu berbeda, Neng," tutur Remba pelan. "Mahasiswa yang sering telat masuk kuliah bukan berarti suka terlambat."

Tari melongo. "Hmmm...."

Twitter @1bichara | Dokpri
Twitter @1bichara | Dokpri
"Persis seperti sudah dan telah.Dua kata itu sering dtpertukarkan. Padahal keduanya berbeda. Kamu tahu perbedaannya? Sudah dapat berdiri sendiri dalam satu kalimat, telah tidak bisa." Remba menarik kursi agak rapat ke meja, lalu menjelaskan dengan pelan. "Contohnya kalau kita menyuruh seseorang berhenti meledek. 'Sudah! Diam!' Kita tidak bisa menukar sudah dengan telah pada kasus itu. 'Telah! Diam!' Jelas?"

Tami mengernyit.

Remba mendeham tidak peduli. "Kata sudah bisa diimbuhi partikel -lah atau -kah, sedangkan telah tidak bisa. 'Sudahlah, tidak usah memikirkan nasibku', contohnya. 'Telahlah, tidak usah mengkawatirkan perasaanku', janggal sekali."

Tami membelalak. "Kamu sudah selesai?"

Tawa Remba seketika meledak. "Sudah!"

"Gue telah mempelajari hal itu, Remba!"

"Nah, itu penggunaan telah yang tepat!"

Tami menepak meja dan meninggalkan Remba yang ternganga.

Dokpri
Dokpri

Rindu dan cemburu itu sama-sama cinta. Tidak perlu cemas karena rindu, tidak perlu gelisah karena cemburu. Cemas dan gelisahlah apabila takar keduanya berlebihan, karena keduanya sama-sama pemicu marah.

Sejak pertemuan ketiga, Tami tidak ingin bertemu Remba lagi. Bahkan ia bertekad akan menghindar dari lelaki menyebalkan itu, sungguhpun mereka bertemu tanpa sengaja. Ia tidak betah menyimak ceramah tentang bahasa Indonesia. Menjemukan!

Bulan pertama sejak pertemuan ketiga berlalu dengan aman. Bulan kedua juga begitu. Pada awal bulan ketiga, Tami tidak bisa menghindar. Sebuah tugas menulis makalah memaksanya harus menemui Remba.

Tibalah Tami di kafe tempat ia menemukan punggung Remba. Masih dengan kaus hitam, rambut berumbai-rumbai, dan novel di depannya. Ia tidak menunggu hingga Remba menutup buku dan menatapnya. Ia langsung meminta Remba supaya mengoreksi makalahnya.

Remba tidak banyak bicara. Ia langsung menulis analisis di atas kata analisa, hipotesis di atas hipotesa, diagnosis di atas diagnosa, serta kedaluwarsa di atas kadaluwarsa. Ia belum juga berkata apa-apa saat membubuhkan kata metode di atas metoda, komersial di atas komersil, serta eksem di atas eksim. 

Ia baru menengadah dan mengatakan "sudah" ketika mencoret kata teoritis dan menulis teoretis di atasnya. "Dosenmu masih kurang jeli."

Tami terpana. "Maksudmu?"

"Teoretis kata yang baku, bukan teoritis. Diserap dari bahasa Belanda. Dari kata teoretisch."

"Bukan dari bahasa Inggris?"

"Bukan!"

"Gue kira diserap dari theoretical." Tami membaca ulang makalahnya, mendongak, dan menatap Remba dengan kagum. "Terima kasih, Munsyi!"

"Jangan sungkan kalau butuh bantuan."

"Esok juga elu pasti gue cari lagi."

"Hmmm...."

"Kenapa?" Mata Tami menyipit. "Elu ogah membantu gue lagi?"

"Besok, bukan esok."

Tami mendesis. "Jleb!"

Dokpri
Dokpri

"Kalau yang kamu maksud adalah hari setelah hari ini, pakailah besok. Kata esok lebih tepat untuk 'masa yang akan datang'. Jadi bedakan antara 'besok lusa' dan 'esok lusa'. Tidak semua kata yang mirip maknanya dapat dipertukarkan sesuka hati."

Tami mengangguk. "Baiklah, besok kita bertemu. Jam berapa?"

"Pukul berapa, bukan jam berapa."

"Pukul berapa, Munsyi?"

"Pukul sepuluh." Remba menatap Tami lekat-lekat. "Jam itu jangka waktu, lamanya sesuatu terjadi atau berlangsung, atau alat yang dipakai untuk mengetahui waktu."

Tami berdiri lalu meninju lengan Remba. "Pukul itu begini!"

"Salah," sergah Remba, "itu tinju!"

Tami merenget setengah berteriak, "Dasar! Buku melulu yang diperhatikan!"

Remba berjengit. "Kamu cemburu pada buku?"

"Ada beberapa hal yang kamu harus tahu!"

"Kamu keren, Tami, bisa membedakan beberapa dan berapa."

Tami melengos. "Gue memang kadang rindu kepadamu, pada celotehmu tentang bahasa Indonesia, pada ketenangan dan kesenanganmu. Tetapi jangan elu kira gue cemburu!"

Dokpri
Dokpri

Semoga tulisan ini berguna bagi teman-teman di Kompasiana, Twitter, dan Facebook. Jika kalian ingin mengusulkan kata yang mirip dan sering tertukar pemakaiannya, atau tema lain untuk esai receh saya tentang bahasa Indonesia, silakan kalian bubuhkan di kolom komentar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun