Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Remba dan Balada Stasiun Pocin (2)

15 Juli 2018   10:30 Diperbarui: 15 Juli 2018   10:34 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: republika.co.id

Pengalaman tidak ada artinya tanpa pendalaman. Tidak sedikit laki-laki yang mengaku mengerti dan memahami perasaan perempuan, padahal mereka tidak mengerti dan tidak memahami apa-apa.

NAMAKU MUNSYI. Lengkapnya, Munsyi Apparemba.

Kata ayahku, makna namaku sangat dalam--bahasawan yang tekun mengajak dan mengajar. Nama yang disematkan sepenuh cinta sering kali menjadi doa yang makbul. Tampaknya harapan ayahku terkabul.

Sejak di sekolah menengah aku rajin menganjurkan teman-teman supaya menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sekarang, setelah kuliah, aku tetap seperti itu. Malah makin menjadi-jadi. Dosen saja kalau keliru pasti kutegur, apalagi sesama mahasiswa. Dan, sensasinya menyenangkan. Kadang puas juga melihat seseorang yang tidak suka dikritik tiba-tiba memerah kupingnya, yang enggan ditegur mendadak urat-urat di rahangnya bergerak-gerak. Mereka gusar dan marah, tapi hanya menelan kegusaran dan kemarahan. 

Sam baru saja merasakannya.

Apakah aku tidak merasa takut? Tidak, aku tidak mengenal takut. Selama apa yang kulakukan kuanggap benar, aku tidak takut.

Badanku kekar, dadaku bidang. Mataku telaga teduh--dengan permukaan tenang tempat ikan-ikan berenang aman dengan riang. Jika hatiku sedang gembira, kamu pasti akan merasakan keteduhan mataku hanya dalam satu-dua tatapan. Jika hatiku berduka, kamu akan merasakan getar ketabahan memancar dari mataku. Setidaknya begitulah yang teman-teman kampus katakan tentang diriku.

Umurku baru 23 tahun. Sebulan lagi sudah 24 tahun. Tahun ini, jika semuanya berjalan lancar, aku akan diwisuda. Tampaknya akan berjalan lancar, sebab aku hanya memikirkan kuliah. Beda dengan mahasiswa lain yang kerepotan membagi waktu: buat kuliah dan buat pacaran. Mahasiswa lain di Pondok Cina, kawasan di sekitar kampus UI tempatku mengontrak rumah, rata-rata sudah punya kekasih. Sam di antaranya.

Aku belum. Hingga hari ini masih jomlo. Hidup sendirian di tanah rantau bukan sesuatu yang memalukan. Pada tahun pertama kuliah, seorang gadis jatuh cinta kepadaku--lebih tepatnya jatuh cinta pada kata-kataku. Aku memilih tidak menerima cinta gadis tersebut, sebab aku khawatir urusan cinta akan mengusik niat awalku merantau. Pada tahun kedua, aku juga menampik gadis yang lain jatuh hati kepadaku. Getir hidup di rantau jadi alasan penolakanku. Aku tidak mau orang lain tercebur ke dalam penderitaanku. Begitu pendapatku. Tahun ketiga masih begitu, tahun keempat tetap begitu.

Jadilah aku tetap menjomlo hingga hari ini.

Jatuh cinta itu mudah, yang sulit justru merawat cinta agar senantiasa subur di dada.

SETELAH BERPAKAIAN RAPI, aku ke beranda. Sam sudah siap dengan beberapa karton yang dipenuhi tulisan: Jangan Gusur Kami, Yang Miskin Dipreteli yang Kaya Dilindungi, Kereta Api Indonesia Merampas Hak Kami, Lawan Ketidakadilan, Kami Ingin Dialog, dan lain-lain.

Kubantu Sam merapikan karton-karton seraya bertanya, "Shafwa tidak ikut?"

Sam menggeleng-geleng. "Tidak tahu."

"Kamu mencintainya, tetapi tidak tahu apa-apa tentang dia!"

"Aku bukan pengasuhnya!"

"Tapi dia kekasihmu...."

"Jangan mengajariku sesuatu yang kamu tidak tahu!" Sam mendengus. Matanya berkilat-kilat. "Kamu tidak tahu apa-apa soal cinta. Kamu buta soal perasaan wanita, tidak tahu bagaimana menghadapi mereka, dan tidak paham apa yang mereka inginkan. Di matamu, kata-kata jauh lebih menarik buat dipahami dibanding perempuan!"

Aku bersikap seolah-olah ucapan Sam tidak menyinggung perasaannya.

"Tidak usah berkhotbah tentang cinta karena kamu tidak pernah merasakan getir mencintai," tuding Sam sambil menyeringai. "Isi otakmu itu cuma teori!"

"Apa yang kamu tahu tentang perempuan?" tanyaku.

"Banyak!"

"Di antaranya?"

"Sulit dikatakan!"

"Pengalaman tidak ada artinya tanpa pendalaman," kataku sambil tertawa. "Tidak sedikit laki-laki yang mengaku mengerti dan memahami perasaan perempuan, padahal mereka tidak mengerti dan tidak memahami apa-apa."

Sam menggeleng-geleng. Kukira, andaikan lelaki yang duduk di tepi ranjangnya bukan aku, pasti sudah dia labrak habis-habisan. Dia paling anti mendengar seseorang berceramah tentang cinta dan perasaan perempuan kepadanya, padahal orang tersebut tidak pernah bersentuhan langsung dengan cinta dan perempuan? Namun, tampaknya dia sadar siapa yang saat ini sedang duduk di hadapannya. Aku--Si Jago Debat. Fondasi alasan yang rapuh akan dengan mudah kupatahkan. Jadi, dia memilih diam.

"Tidak pernah jatuh cinta bukan berarti tidak paham perasaan perempuan!"

Sam mendelik. "Maksudmu?"

"Tidak ada maksud apa-apa!"

"Kamu mau bilang," dengus Sam, "kamu tahu banyak soal perempuan?"

Aku menggeleng. "Tidak!"

"Lantas?"

"Aku cuma mau mengingatkan," tuturku, "jatuh cinta itu mudah, yang sulit justru merawat cinta agar senantiasa subur di dada. Minggu lalu, masih di beranda ini, kamu begitu mengagung-agungkan Shafwa, sekarang kamu rendahkan cinta dan perhatiannya kepadamu. Bagiku, itu bukan cinta. Itu kemarahan!"

"Dalam cinta, selalu banyak rintangan yang menghadang!"

Aku mengernyit. "Bukan menghadang, tetapi mengadang."

"Maksudmu?"

"Kata dasarnya adang, bukan hadang. Banyak kata yang sering dibubuhi awalan 'h' di depan suku kata pertama, padahal sebenarnya kata itu tanpa 'h'."

"Misalnya?"

"Embus ditulis hembus, serta empas dikira hempas. Kita juga menduga imbau adalah himbau dan impit disangka himpit, kemudian isap disangka hisap. Akibatnya, pengimbuhan pada kata-kata tersebut ikut salah kaprah, seperti menghembus, menghempas, menghimbau, menghimpit, dan menghisap. Catat baik-baik obrolan kita ini. Simpan di bilik ingatan agar sewaktu-waktu kamu bisa mengingatnya."

"Halangan?"

"Beda," jawabku. "Alangan dan halangan sama-sama baku. Keduanya bisa kita gunakan!"

"Pantas tidak ada cewek yang tertarik kepadamu!"

Merasa dihina, aku berdiri. "Aku tidak ingin anak bahasa keliru memilah kata atau tidak bisa membedakan antara yang baku dan tidak baku. Bagiku, itu memalukan. Ya, mestinya kamu malu sepuluh tahun kuliah di jurusan bahasa Indonesia." Kuusap keningku, mengelap keringat dengan punggung tangan. Ocehan sinis Sam meruntuhkan seluruh pikiranku tentang cinta dan perempuan. Dan, aku tidak terima. "Jadi, tidak ada hubungannya dengan cinta dan perempuan!"

"Ada," bantah Sam dengan sengit. Matanya membeliak. "Kamu lebih peduli pada bahasa Indonesia daripada perasaanmu. Apa kamu mau menjomlo seumur hidup?"

"Jodoh seperti kematian. Ketentuan Tuhan!"

"Giliran kepepet, Tuhan kamu bawa-bawa."

Aku tertawa. "Tuhan memang ada dalam seluruh sendi kehidupan!"

"Kampret!"

"Jadi ikut demonstasi?"

"Jadi," tandas Sam. "Kalau tidak ada alangan yang mengadang!"

Aku mengacungkan jempol, dia tertawa sambil menepuk dada.

(Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun