"Aku cuma mau mengingatkan," tuturku, "jatuh cinta itu mudah, yang sulit justru merawat cinta agar senantiasa subur di dada. Minggu lalu, masih di beranda ini, kamu begitu mengagung-agungkan Shafwa, sekarang kamu rendahkan cinta dan perhatiannya kepadamu. Bagiku, itu bukan cinta. Itu kemarahan!"
"Dalam cinta, selalu banyak rintangan yang menghadang!"
Aku mengernyit. "Bukan menghadang, tetapi mengadang."
"Maksudmu?"
"Kata dasarnya adang, bukan hadang. Banyak kata yang sering dibubuhi awalan 'h' di depan suku kata pertama, padahal sebenarnya kata itu tanpa 'h'."
"Misalnya?"
"Embus ditulis hembus, serta empas dikira hempas. Kita juga menduga imbau adalah himbau dan impit disangka himpit, kemudian isap disangka hisap. Akibatnya, pengimbuhan pada kata-kata tersebut ikut salah kaprah, seperti menghembus, menghempas, menghimbau, menghimpit, dan menghisap. Catat baik-baik obrolan kita ini. Simpan di bilik ingatan agar sewaktu-waktu kamu bisa mengingatnya."
"Halangan?"
"Beda," jawabku. "Alangan dan halangan sama-sama baku. Keduanya bisa kita gunakan!"
"Pantas tidak ada cewek yang tertarik kepadamu!"
Merasa dihina, aku berdiri. "Aku tidak ingin anak bahasa keliru memilah kata atau tidak bisa membedakan antara yang baku dan tidak baku. Bagiku, itu memalukan. Ya, mestinya kamu malu sepuluh tahun kuliah di jurusan bahasa Indonesia." Kuusap keningku, mengelap keringat dengan punggung tangan. Ocehan sinis Sam meruntuhkan seluruh pikiranku tentang cinta dan perempuan. Dan, aku tidak terima. "Jadi, tidak ada hubungannya dengan cinta dan perempuan!"