Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Menulis dalam Bahasa Indonesia yang Kaya

12 Juli 2018   16:29 Diperbarui: 12 Juli 2018   21:58 4411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya selalu mengutamakan tiga hal ketika memilih kata. Ketiga hal itu adalah tepat makna, taat kaidah, dan rasa baca. 

Tatkala makna kata sudah tepat dan tidak melanggar kaidah tata bahasa, belum tentu satu kata spontan saya taruh ke dalam kalimat. Kata itu masih harus melewati bilik pindai rasa baca.

Gagasan yang kita paparkan dalam tulisan, sesegar dan sebrilian apa pun, mudah menguap apabila tulisan kita hambar. Akibatnya, ide yang kita lontarkan kehilangan gereget. Pembaca malah kecewa alih-alih tercerahkan. Sekecewa saat membeli makanan di restoran ternama. Sudah dibayar mahal, eh, ternyata citarasanya tidak sesuai selera. Dimakan tidak enak, tidak dimakan sayang uang. 

Saya selalu berupaya agar tidak mengecewakan pembaca. Itu sebabnya saya tidak asal-asalan dalam menulis. Setiap tulisan niscaya melewati pendalaman gagasan, pengendapan konsep, pengumpulan bahan, dan pemilihan kata. Saya tidak ingin pembaca rugi. Saya paham bahwa kuota mahal, waktu pampat, otak mumet, hati letih, masih pula diberati oleh tulisan saya yang tiada guna. Aih!

Sekarang, coba kalian luangkan waktu untuk membaca tulisan ini hingga rampung. Saya berharap tulisan ini berfaedah dan tidak membuat pikiran kalian berantakan. O ya, bahasa Indonesia itu kaya. Kata berantakan atau acak-acakan saja punya 26 varian. 

Coba lihat data berikut.

Sumber: KBBI V (Dokumentasi Pribadi)
Sumber: KBBI V (Dokumentasi Pribadi)
Mencari Kata yang Tepat Makna

Ketika menulis Natisha, novel yang menyingkap sisik-melik cinta dan tradisi Bugis-Makassar, saya sengaja memilih 111 kata yang jarang digunakan pengarang lain dalam novel anggitan mereka.

Bagaimana cara saya memilih 111 kata tersebut? Butuh sebulan penuh membuka lembar demi lembar kamus bahasa Indonesia. Saya pilih kata demi kata, lalu saya catat dengan tekun.

Mengapa saya rela serepot itu membelalaki kamus? Saya ingin kata yang saya pilih benar-benar sesuai dengan makna yang saya inginkan. Saya tidak ingin keliru. Hasrat hati menulis melenyut alias duduk termenung, ternyata malah menulis menceratuk alias duduk dengan kepala sedikit menunduk. Sama-sama duduk, namun posisi duduknya berbeda. Saya tidak mau begitu.

Mengapa saya sudi sesibuk itu memelototi kamus? Saya ingin kata yang saya pakai sungguh-sungguh cocok dengan makna yang saya bayangkan. Jika yang saya bayangkan adalah gemerencik atau bunyi air hujan yang mengenai kaca jendela, jangan sampai malah memakai kata gemercik alias bunyi air yang jatuh menimpa genangan air. Sama-sama bunyi air, namun posisi jatuhnya berbeda. Saya tidak mau begitu.

Mengapa jumlahnya harus 111 kata? Saya tidak ingin seluruh waktu kreatif saya disita oleh kamus. Jika target saya 222 atau 333, tenaga dan pikiran saya akan terkuras. Jangankan 555 kata, mencari 33 kata saja belum tentu cepat dan mudah. Bisa-bisa novel tidak selesai-selesai saya tulis.

Dari situlah tulisan saya bermula. Saya tidak pernah macet di tengah jalan lantaran sulit mencari kata yang tepat. Hal paling menjengkelkan dalam hidup saya, di luar soal rekening yang lebih sering kosong daripada terisi, adalah tertumbuk di jalan buntu ketika menulis. Seperti hidung yang sudah gatal, eh, malah batal bersin. Seperti perut yang mules luar biasa, eh, tidak ada apa-apa yang keluar padahal sudah lama di kakus.

Percaya atau tidak, bahasa Indonesia itu sangat kaya. 

Khusus soal duduk saja, bahasa Indonesia punya 30 varian. Coba kalian bayangkan. Ada 30 varian duduk dalam kamus dan, selama ini, kita hanya menggunakan duduk, bersila, atau bersimpuh. Ini baru duduk, belum ditambah berjongkok atau berdiri. 

Tidak percaya? Silakan tilik dengan cermat data berikut.

Sumber: KBBI V (Dokumentasi Pribadi)
Sumber: KBBI V (Dokumentasi Pribadi)
Memburu Kata yang Taat Kaidah

Pernahkah kalian melihat orang yang marah-marah karena penulisan namanya tidak tepat?

Nah, kata juga begitu. Bayangkan betapa selama ini kita telah sedemikian kurang ajar kepada kata. Kita tidak memikirkan perasaan kata yang kita korupsi satu huruf darinya. Mestinya karier, kita malah menulis karir. Mestinya hierarki, kita malah memakai kata hirarki. Alih-alih elite politik, yang kita tulis malah elit politik. Sesudah itu, kita berkoar-koar menentang korupsi. 

Maaf, rasanya saya agak berlebihan di bagian ini.

Kita kembali pada tradisi korupsi satu huruf tadi. Sekarang kalian tanya diri sendiri. Apakah selama ini saya selalu menggunakan katafrustasi? Jika jawaban kalian ya, berarti kalian sudah lama menyakiti perasaan kata dan tidak pernah meminta maaf kepadanya. Yang tepat bukan frustasi, melainkan frustrasi. Andaikan kalian tokoh publik atau sosok yang tulisannya kerap dibaca orang, bayangkan sudah berapa pembaca yang kalian sesatkan?

Dengan kata lain, perkara salah kata bukanlah soal sepele.

Tak ayal, saya tidak mau sambalewa atau ceroboh. Saya tidak ingin menyesatkan pembaca. Dosa saya sudah menumpuk. Bilangannya melebihi hitungan pasir di bibir pantai. Tulisan ini, juga tulisan-tulisan lain terkait bahasa Indonesia, hanyalah bagian dari upaya mencari kebaikan agar keburukan saya terimbangi. Itu sebabnya saya bahagia bila tulisan saya berguna bagi kalian. Itu pula sebabnya saya selalu berterima kasih jika kalian mengomentari tulisan receh saya. Aih, sungguh rasa bahagia yang alangkah!

Sekarang, cobalah sekilas kalian baca data berikut. 

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Moga-moga kalian tidak termasuk koruptor kata. Kalaupun termasuk, selalu ada waktu untuk memperbaiki diri. Hidung pesek saja sekarang gampang dibikin mancung, apalagi sebatas salah kata.

Mengaja Kata demi Rasa Baca

Tulisan dengan gagasan segar dan bernas, tetapi tersendat-sendat saat dibaca, seperti berada dalam mobil yang terperangkap macet. 

Kalau kalian berada pada posisi saya, mungkin kalian akan mual atau muak. 

Pada suatu ketika, saya diminta menyunting tulisan seorang begawan ekonomi. Saya seperti tersesat pada labirin kalimat, bingung harus ke mana, tidak tahu di mana pintu keluar, dan terpaksa menjadi orang linglung yang terus-menerus berputar dalam labirin kebingungan. Padahal saya tidak asing dengan dunia ekonomi, apalagi akuntansi.

Pada ketika yang lain, saya diminta menyunting buku seorang tokoh politik ternama. Sepanjang pembacaan awal, kerut-merut di wajah saya bertambah sepuluh kali lipat daripada hari-hari sebelumnya. Selain dipenuhi istilah asing, yang sebenarnya punya padanan dalam bahasa Indonesia, satu gagasan digelontorkan berkali-kali. Saya merasa seperti pejalan yang tersesat dan terperanjat ketika sadar kembali ke jalan semula. Padahal saya tidak terlalu asing dengan dunia politik, kecuali politik praktis.

Di situlah pentingnya rasa baca. Gagasan yang brilian akan mengendap di benak pembaca jikalau tulisan renyah dibaca, lezat dieja, dan maknyus dicerna oleh pikiran. Tidak peduli apa pun tulisan kalian, pembaca akan terpesona andai kata kalian peka pada rasa baca. Saya pikir, saya tidak perlu menyuguhkan contoh. Kalian pasti pernah menemukan tulisan yang kalian selalu ingin baca ulang. Kalian pasti pernah membaca tulisan yang menggugah pikiran dan perasaan.

Kita kembali pada hakikat rasa baca. Barangkali kalian ingin berhenti sejenak mengeja ulang kalimat ini: Kita kembali pada hakikat rasa baca. Kalimat yang sederhana. Tidak njelimet. Namun, permainan konsonan "k" dan vokal "a" membuatnya berbeda. Ada nada, ada irama. Itu contoh sederhana saja. Seni mengukir kata dengan tumpuan rasa baca bukan sesuatu yang sulit. Kuncinya hanya dua, yakni banyak membaca dan banyak mencoba. Semakin sering menulis, semakin peka.

Rasa baca itu menjadi lebih mudah lantaran bahasa Indonesia adalah bahasa dengan kosakata yang melimpah. Saya ingin menyuguhkan satu contoh. Khusus kata mengalir yang terkait dengan air mata saja, bahasa Indonesia punya 21 varian kata. Gila! Ada 21 kata dan kita hanya terpaku pada air matanya berderai atau air mataku bercucuran.

Sumber: KBBI V (Dokumentasi Pribadi)
Sumber: KBBI V (Dokumentasi Pribadi)
Kita mestinya bangga dan berterima kasih kepada bahasa Indonesia.

Coba simak contoh berikut.

  1. Air mataku melurut, mengalir deras ke pipi, ketika bertimpuh di depan jenazah ibuku. Berkali-kali kuseka, air mataku tetap memancur. Berkali-kali kutahan, air mataku masih saja merabas, bertitikan hingga membasahi kumis dan janggutku.
  2. Aku kehilangan kata. Lidahku seketika menolak bicara. Ada yang berasa hangat di pipiku. Air mataku berambai-rambai, menggabak ke pipi, dan merambak ke pori-pori tabahku. Aku tidak suka kehilangan. Dan, dengan mimik tak bersalah, sekarang kamu memintaku agar merelakan pernikahanmu dengan gadis lain.

Semoga dua contoh di atas cukup untuk menggambarkan betapa kayanya bahasa Indonesia. O ya, kalimat di atas bukan usaha mengindah-indahkan kata. Saya butuh rasa baca, bukan mematut-matut kata.

Tolong cermati pula kalimat berikut.

  1. Anjing itu mengauk. Gonggongnya menciutkan nyaliku. Kamu tahu, nyaliku ciut setiap mendengar anjing menyalak.
  2. Ketika kutahu kamu pergi, kutekan dan kutelan rasa sedih. Aku tidak mau air mataku pecah di depan ibuku. Begitu sendirian di kamar, seketika bantalku basah. Aku terisak-isak, mengesak-esak, dan menciar-ciar seperti bayi.

Kata "gonggong" mungkin sudah lazim di telinga kalian. Kalian juga pasti pernah mendengar "anjing menyalak". Namun, pada kalimat pertama saya mulai dengan kata mengauk. Kata itu semakna dengan salak dan gonggong. Supaya pembaca tidak repot-repot mencari tahu arti "mengauk", kalimat berikutnya saya mulai dengan "gonggong" yang sudah ramah telinga. Sekarang baca ulang kalimat ini: nyaliku ciut setiap mendengar anjing menyalak. Rasakan kehadiran kata "ciut" dan "menyalak". Rasanya berbeda dengan kalimat ini: aku ketakutan tiap mendengar anjing menggonggong.

Itulah secuil udaran atau ulasan sederhana saya tentang rasa baca.

Sumber: KBBI V (Dokumentasi Pribadi)
Sumber: KBBI V (Dokumentasi Pribadi)
Akhirnya kalian tiba di ujung tulisan ini. 

Semoga kalian tidak kesal dan tobat membaca tulisan saya. Dan, semoga tulisan ini berguna. Mungkin kalian sekarang belum butuh, siapa tahu nanti kalian memerlukan tulisan ini. Moga-moga pula kalian bersedia mengajak teman-teman kalian untuk turut membacanya. Mungkin kalian tidak butuh, siapa tahu ada teman kalian yang memerlukan tulisan ini. Hitung-hitung kita berbagi kebaikan, sekaligus berbagi kabar tentang kekayaan bahasa Indonesia.

Saya bangga berbahasa Indonesia. Kalian? [kp]

Kandangrindu, 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun