Mohon tunggu...
Taufik AAS P
Taufik AAS P Mohon Tunggu... Penulis - jurnalis dan pernah menulis

menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jimat Naga Sikoi

9 Maret 2018   05:38 Diperbarui: 9 Maret 2018   22:11 1431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti serigala melolong di malam bulan purnama empat belas terbit, La Rakkala Pekko Ulu tak kuasa menahan marah. Hatinya panas bukan kepala menahan hina atas dirinya yang tak rupawan. Andai mungkin dirinya bisa, maka Dewata pun akan digugatnya.

Pria peladang ini terus meradang dalam gubuknya di malam yang hampir fajar, dadanya ditepuk-tepuk tanda menyesali diri. Sesekali ia mengintip lewat jendela gubuknya yang tak berdaun. Jauh di langit yang mulai keputih-putihan, bintang meredup dan satu-satu menghilang. Ia semakin perih mengingat sehari yang lalu, anak gadis kepala kampong meludah di depannya, sambil menutup hidung.

"Wajahku memang jelek tapi tubuhku tidak busuk, apalagi hatiku. Oh Dewata, bantulah diriku ini. Bertanggungjwablah telah merestui kelahiranku di mayapada ini."

La Rakkala terus membatin kakinya dihentak-hentak ke lantai tanah rumahnya. Dadanya dicakar-cakar sendiri dengan jari-jari tangannya yang kasar. Hingga lelah pria peladang ini mencabik-cabik perasaannya. Trus tumpahlah dalam mimpinya.

//

La Rakkala Pekko Ulu, trus berjalan hingga batas mata memandang. Ia terus membayangkan We Bitara Mappedda Uleng, putri kepala kampung yang cantiknya tak tertandingi. Lehernya putih dan bening, kalau minum seolah kelihatan air mengalir. Betisnya bagaikan batang padi, hidung mancung dengan bibir basah merah merekah. Matanya bening di bawah alis yang bagikan semut hitam beriring.

"We Bitara, aku akan adukan penghinaanmu pada Dewata Tuhanku."

Pria peladang itu terus berjalan dan membatin. Ia akan mencari Dewata tempatnya mengadukan rasa sakit dan perih atas sebongkah daging dalam rongga dada. Kaki-kakinya terus melangkah, menerabas duri dan onak. Detik berganti menit hingga ke jam. Berhari-hari pria berwajah kurang tampan ini terus melangkah lewati lembah, gunung, dan belantara. Hingga tenaganya terus bertambah, membuat dirinya seolah menjadi batu karang yang atos. La Rakkala Pekko Ulu, benar-benar telah jadi sebongkah batu penasaran.

//

"Rakkala Pekko Ulu, bangunlah anakku dari tapamu. Aku sudah dah tahu rasa sakit dalam dadamu."

Suara menggelegar dari langit disertai kilat dan gerimis dingin. La Rakkala Pekko Ulu yang membatu dalam tapanya, perlahan bergerak. Ada kekuatan cinta dalam dada pria ini, membuatnya terus bergerak menuju seorang lelaki tua yang berjarak lima depa darinya.

"Anakku, terimalah ini, jimat pemanis Naga Sikoi."

Dengan tangan gemetar pertanda suka dan gembira La Rakkala Pekko ulu menerima jimat Naga Sikoi dari sang lelaki tua. Ia terus pandangi barang yang dibungkus kain hitam dengan tali merah yang ada di tangannya.

Dengan muka yang melongo, Rakkala memandangi sang lelaki tua penuh penasaran. Namun penasarannya belu terjawab, lelaki tua menggenggam tangannya lalu bacakan matera.

"Camkan baik-baik manteranya anakku La Rakkala."

"iyye Puang."

"Bakengkeng bakongkong, barakka kompai banna motoroka kilampa manontong ri bioskop paramoung."

//

Aku tidak tahu, kenapa istriku Shinta tiba-tiba saja lebih kasar dari biasanya, bahkan seolah ia menjadi Shinto. Belum sempat aku buka pakaia kerja, ia sudah melalap pipiku dengan ciuman-ciumannya. Bukan, ciuman mesra da lembut, tetapi panas dan ganas, bahkan bibirku yang tenang-tenang saja ikut pula dilabraknya dengan dasyat.

"Waduh, ada apa ini Shin."

Aku protes, tetapi Shinta semakin menjadi-jadi saja, ia bahkan menarik tanganku dan melingkarkan di badannya. Ia juga semakin rapatkan badannya ke tubuhku yang baru saja ganti baju, tinggal singlet dan celana boxer.

"Aku mau minum teh hangat Shin."

Shinta tidak perduli, ia tarik diriku masuk dalam kamar dan trus mendorongku ke tempat tidur. Masih dalam suasana tak bergeming Shinta trus merambah tubuhku dengan jari-jari halusnya. Seperti kerbau dicocor hidung aku menurut saja. Sebab aku memang sayang istri. Usia pernikahan kami baru seumur jagung. wajar saja Shinta begitu setelah 2 hari aku dinas luar kota.

Daripada aku menyinggung perasaan Shinta tersayang, kupersiapkan dirilah atas segala sesuatu yang bakal terjadi di hampir tengah malam itu. Aku juga telah ada persiapan 2 mangkuk cota plus 4 biji ketupat andai Shinta terus menyerangku.

"Shintaaa."

"Yaaa."

Shinta menjawab pelan dengan tatapannya yang membuat diriku hanyut semakin ke hilir. Saat segala sesuatunya telah siap dan jangkar telah dibuang, kapal telah berlabuh dengan tenang. Shinta bernapas panjang sambil terus memeluk diriku. Kami senang dan bahagia.

"Kak, aku menemukan sesuatu dalam dompetmu. Aku telah membakarnya barusan, sebelum kamu datang. Hik hik hik."

Shinta terus tertawa dengan lucunya sambil perlihatkan kain hitam pembungkus jimat Naga Sikoi milikkku. Isinya telah musnah dibakar oleh Shinta, entah dimana lagi dibuang debu-debunya.

"Aduh, Shinta."

"Aduh, apa. Dulu kamu taklukan aku dengan jimat itu kan. Kini kakak aku taklukan barusan."

Lalu berdua kami berpelukan dan dan tertawa menuju malam yang semakin larut. Kami bahagia, dunia ini hanya aku dan Shinta yang punya, yang lain cuma numpang.

Amping Gunung, 9 Maret 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun