Di sebuah desa kecil, tinggallah seorang pemuda bernama Rayyan. Di lingkungan tempat tinggalnya, ia terlihat sangat taat beribadah: ia sering shalat di masjid, membaca doa dengan suara keras, dan kerap menasihati orang lain untuk menjauhi perbuatan buruk. Namun, di balik semua itu, Rayyan memiliki sisi lain yang hanya dia dan Allah yang tahu.
Ketika malam tiba dan orang lain tertidur, Rayyan malah terjerumus ke dalam dunia gelap. Ia terlibat dalam perbuatan dosa melalui ponselnya, membiarkan matanya terfokus pada hal-hal terlarang. Hatinya dingin dan keras seperti batu. Jika ada yang memberikan nasihat, ia cepat marah dan tersinggung. Dan makin lama, munculah sifat munafik dalam dirinya yang berakhir membuat iman Dio semakin berkurang.
Suatu hari di  sebuah masjid, seorang ustadz memberikan sebuah ceramah serta membacakan dalil dari ayat Al-Qur'an:
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (ingin dilihat orang). " (QS. An-Nisa: 142)
Pernyataan itu menyentuh sebagian jamaah, namun tidak untuk Rayyan, ia hanya tersenyum tipis sambil menepuk dada. "Alhamdulillah, itu bukan aku," bisiknya, seakan-akan berbohong kepada dirinya sendiri. Padahal, ayat itu seolah ditujukan langsung untuknya. Namun, hatinya yang keras membuatnya enggan untuk merenung.
Beberapa hari kemudian, temannya yang bernama Ilham datang. Ilham mengetahui sifat asli Rayyan. Ia berusaha memberi nasihat dengan lembut, "Yan, aku tahu kau shalat di masjid, tetapi aku juga tahu apa yang kau lakukan di balik layar. Jangan main-main dengan Allah. Kehidupan ini singkat. Jika hati kita keras, Allah bisa mencabut hidayah kapan saja. "
Rayyan langsung marah. "Kau merasa lebih baik! Urus saja dirimu sendiri. Aku tahu kapan aku harus bertobat. Jangan ikut campur urusanku! " katanya dengan wajah merah. Ilham hanya terdiam, hatinya sedih melihat sahabatnya semakin menjauh.
Hari berlalu, tetapi Rayyan terus percaya bahwa ia tidak melakukan kesalahan. Dia tidak mau bertaubat. Â Ia tetap memiliki sifat munafik itu. Â Pada akhirnya, pada suatu malam, ia mengalami mimpi yang aneh. Dalam mimpinya, ia berada di padang yang luas seorang diri. Saat ia mencoba melangkah, langkahnya terasa berat, dan dari jauh ia melihat api besar yang berkobar, sementara jalannya penuh duri. Lalu, terdengar suara yang kuat:
"Inilah balasan bagi hati yang munafik dan keras. Mereka menipu Allah, padahal Allah lah yang paling tahu isi hati. "
Rayyan terbangun dengan tubuh bergetar juga keringat dingin yang mengalir di wajahnya. Ia berusaha menenangkan diri, tetapi bayangan tentang mimpir tersebut terus menghantuinya . Namun sekali lagi, ia tetap keras hati dan tidak berusaha mengambil pesan yang berusaha disampaikan oleh Allah SWT melalui mimpinya itu. "Ah, hanya mimpi," desahnya sambil kembali membuka ponselnya.
Allah memang Maha Adil. Tidak ada yang bisa menghindar dari balasan-Nya. Suatu sore, Rayyan tiba-tiba jatuh sakit. Suhu tubuhnya meningkat drastis, dadanya terasa sesak dan pandangan nya mengabur. Ia dibawa ke rumah sakit, dan dokter mengabarkan bahwa ada masalah serius pada jantungnya. Meski usianya masih muda, penyakit itu datang dengan cepat.
Di tempat tidur rumah sakit, Ilham datang untuk menjenguk. Dengan suara lembut, ia berkata, "Yan, Allah masih mencintaimu. Jangan pergi dari dunia ini dengan hati yang keras. Ingatlah, hidup ini singkat. Buka hatimu, dan bertobatlah. "
Air mata Rayyan mulai mengalir. Untuk pertama kali, hatinya mulai mencair. Semua ingatan tentang dosa dan ketidakjujuran berputar seperti film dalam pikirannya. Ia menyadari, selama ini ia hanya berpura-pura baik, padahal hatinya penuh noda.
"Ilham. . . aku merasa takut. Aku takut Allah tidak akan memaafkanku," katanya dengan suara terbata-bata. Ilham menggenggam tangan Rayyan dengan kuat. "Tidak ada dosa yang lebih besar dari kasih sayang Allah. Jangan biarkan hatimu tetap keras. Ucapkan dengan tulus, minta ampun sekarang juga. "
Dengan suara yang tersendat-sendat, Rayyan beristigfar dan berdzikir, meminta ampun kepada Allah. Meskipun tubuhnya lemah, hatinya mulai lembut. Ia beristigfar dan berdzikir dengan sungguh sungguh, karena ia tidak tahu apakah Allah akan memberikan waktu lebih banyak atau malah menjemputnya segera. Yang jelas, kesempatan kali ini, ia gunakan dengan sebaik mungkin.
Malam itu, Rayyan merasakan ketenangan yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan. Dari peristiwa yang menimpanya, ia belajar bahwa kepura-puraan dan hati yang keras hanya akan membawanya ke sebuah kesengsaraan. Sementara kejujuran dan taubat dapat menjadi cahaya yang dapat membimbingnya menuju ketenangan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI