Dalam percakapan sehari-hari tentang sejarah Timur Tengah, terutama di dunia Arab, kita nyaris tidak pernah mendengar kisah-kisah tentang dewa, makhluk mitologis, atau sistem kepercayaan kuno seperti halnya ketika kita bicara tentang Yunani, Mesir, atau India. Narasi dominan yang berkembang di media maupun pendidikan umumnya langsung melompat dari kondisi jahiliah ke kebangkitan Islam. Padahal, ada masa panjang yang dilewati masyarakat Arab sebelum Islam datang membawa transformasi spiritual dan sosial. Masa inilah yang coba diungkap dan dijernihkan oleh Dr. Mahmud Salim al-Hut dalam bukunya yang luar biasa: Mitologi Arab: Kepercayaan Kuno Bangsa Arab Sebelum Islam.
Buku ini membuka pintu ke dunia yang sering kali dilupakan atau bahkan diabaikan. Dr. al-Hut menyelami sistem kepercayaan dan mitos-mitos yang pernah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Arab kuno yakni sebuah dunia yang penuh simbol, penghormatan terhadap alam, dan cerita tentang makhluk-makhluk supranatural. Buku ini bukan sekadar usaha pengarsipan sejarah; ia adalah upaya penyelamatan memori kolektif yang nyaris lenyap karena dikubur oleh semangat pembaruan agama dan modernisasi.
Sebagai pembaca yang tumbuh dalam tradisi yang menghormati Islam sebagai fondasi budaya Arab, saya semula merasa agak skeptis terhadap gagasan tentang mitologi Arab pra-Islam. Bukankah Islam datang justru untuk membersihkan sisa-sisa politeisme dan takhayul? Tapi di sinilah letak kekuatan buku ini. Alih-alih menentang kepercayaan agama, Dr. al-Hut justru menempatkan mitologi sebagai bagian dari perjalanan kultural umat manusia. Sama seperti mitologi Yunani tidak mengancam Kekristenan, atau mitologi Hindu tidak meniadakan spiritualitas modern India, mitologi Arab pra-Islam juga bisa dipelajari sebagai bagian dari identitas dan ekspresi kebudayaan masa lalu.
Dalam pembahasannya, Dr. al-Hut membagi kepercayaan masyarakat Arab kuno menjadi dua kelompok utama: dewa langit dan dewa bumi. Dewa langit mencakup objek-objek kosmik seperti matahari, bulan, dan bintang yakni unsur yang sangat menentukan kehidupan masyarakat padang pasir yang mengandalkan navigasi langit dan siklus alam. Nama-nama seperti Allat, Manat, dan al-Uzza disebut sebagai bagian dari jajaran dewa perempuan yang disembah di banyak suku.
Sementara itu, dewa bumi bersifat lebih lokal dan konkrit. Mereka hadir dalam bentuk batu besar, pohon keramat, atau hewan yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Praktik penyembahan kepada benda-benda ini dilakukan melalui sesajen, persembahan, atau ritual tertentu yang diwariskan secara turun-temurun. Bagi pembaca modern, ini mungkin terdengar seperti animisme, namun konteksnya jauh lebih kompleks karena kepercayaan tersebut menyatu dengan struktur sosial dan politik suku-suku Arab kala itu.
Tak hanya membahas dewa-dewa, buku ini juga mengangkat tema penting lain: makhluk-makhluk gaib seperti jin, malaikat, setan, dan iblis. Menariknya, konsep tentang jin dan roh halus sudah ada jauh sebelum Islam. Jin dianggap sebagai makhluk yang bisa baik atau jahat, dan dipercaya bisa berinteraksi dengan manusia, bahkan mengilhami para penyair dalam menciptakan syair-syair mistis. Ini memberi kita pemahaman bahwa unsur-unsur metafisik dalam Islam sebenarnya memiliki akar yang lebih tua dalam kebudayaan Arab, meski kemudian direformasi dan diberi bingkai teologis yang baru.
Dari sisi gaya penulisan, buku ini cukup padat namun tidak membosankan. Dr. al-Hut menulis dengan gaya ilmiah yang terstruktur, namun tetap berusaha menjangkau pembaca umum. Terjemahan bahasa Indonesianya pun cukup baik, diterbitkan oleh Pustaka Alvabet dengan pengantar dan catatan kaki yang memudahkan pemahaman. Bagi pembaca yang tidak memiliki latar belakang sejarah atau studi agama pun masih bisa mengikuti alur argumen dan narasi yang dibangun dalam buku ini.
Sebagai pembaca, saya merasakan buku ini membuka lapisan baru dalam pemahaman saya tentang Arab dan Islam. Selama ini kita sering kali terjebak dalam dikotomi: Arab berarti Islam, dan Islam berarti tauhid murni tanpa campuran budaya lokal. Buku ini menghancurkan stereotip itu dengan menunjukkan bahwa kepercayaan lokal masyarakat Arab kuno sangat kaya, simbolik, dan spiritual. Dan justru dari kekayaan itulah Islam muncul sebagai kekuatan pembaruan yang membawa sintesis baru bukan dari ruang hampa, tetapi dari interaksi dengan budaya yang telah ada.
Mitologi Arab bukan hanya buku sejarah. Ia adalah cermin yang memantulkan kembali wajah asli peradaban Arab dengan segala ketakutan, harapan, dan imajinasi mereka terhadap alam semesta. Buku ini penting untuk dibaca oleh siapa pun yang ingin memahami Arab bukan hanya sebagai kawasan konflik politik atau pusat agama semata, tetapi sebagai peradaban yang pernah merayakan langit dan bumi melalui simbol-simbol suci mereka.
Bagi saya, buku ini adalah bacaan wajib bagi siapa pun yang tertarik pada studi kepercayaan, antropologi, atau sejarah kebudayaan Arab. Bahkan untuk mereka yang hanya ingin "jalan-jalan sejarah" ke masa lalu, buku ini menawarkan pengalaman yang memikat.
Akhir kata, Mitologi Arab adalah pengingat bahwa sejarah tidak pernah tunggal. Bahwa sebelum Islam menjadi kekuatan besar yang membentuk Timur Tengah modern, pernah ada dunia yang dipenuhi kisah, simbol, dan makna yang kini bisa kita gali kembali, bukan untuk menghidupkan kepercayaan lama, tetapi untuk lebih memahami kemanusiaan kita yang kompleks.