Mengapa nilai siswa bisa rendah dengan KKM 60 dan 65? karena kecenderungan guru memberikan nilai mengikuti KKM yang ada. Dari diskusi ini akhirnya kita menjadi paham bahwa KKM tidak lagi semata-mata menjadi batas minimal pencapaian kompetensi. Tetapi lebih dari itu, KKM telah bertranformasi menjadi instrumen "pendongkrak" nilai siswa.Â
Kompetensi tidak lagi penting, yang penting adalah nilainya tinggi. Maka jadilah jorjoran penetapan nilai KKM yang setinggi-tingginya. Nilai KKM yang tinggi bahkan menjadi semacam representasi mutu sekolah.Â
Sekolah yang tinggi KKM nya berarti sekolah yang bermutu. Sementara sekolah yang KKM nya rendah dianggap kurang bermutu.
Usaha untuk mempertahan pandangan tentang pentingnya mengikuti panduan penilaian yang baru, justru dianggap terlalu ideal. Seorang rekan bahkan mengatakan "Idealnya memang mengikuti aturan, tapi kenyataannya itu tidak dapat diterapkan.Â
Kalau diterapkan maka nilai siswa akan rendah, dan seterusnya akan berdampak pada penilaian mutu sekolah". Â
Ya, bersikap ideal menjadi masalah. Padahal sikap ideal merupakan perwujudan prinsip dan pandangan untuk selalu hidup berdasarkan patokan yang dianggap sempurna. Visi pendidikan, bahkan visi sekolah dibuat dengan tujuan yang sangat ideal.Â
Sekolah sendiri pada hakekatnya adalah lingkungan yang direkayasa agar memenuhi aturan dan tujuan ideal. Oleh sebab itu, sekolah dilengkapi dengan berbagai perangkat ideal termasuk standar nasional pendidikan.Â
Tetapi mengapa ketika idealisme ditumbuhkan justru menjadi masalah?Â
Kenyataan ini seharusnya menyadarkan kita bahwa rumusan pendidikan yang ideal sebagaimana yang telah rancang oleh pemerintah, belum tentu dapat diimplementasikan secara baik pada level satuan pendidikan, mengingat banyaknya variabel lain yang turut mempengaruhi pelaksanaannya, terutama kepentingan praktis pragmatis untuk memperoleh status dan predikat tertentu.