Mohon tunggu...
Muliadi Akbar
Muliadi Akbar Mohon Tunggu... Guru - Guru, dosen, Tutor, Pegiat literasi, Bloggers

Guru Matematika yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Idealis Kok Jadi Masalah

19 Mei 2022   21:01 Diperbarui: 19 Mei 2022   21:07 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Suatu ketika saya mengikuti rapat dewan guru yang dilaksanakan oleh sekolah. 

Pada rapat itu dibahas banyak hal termasuk soal KKM (kriteria ketuntasan minimal). KKM kita semua sudah paham merupakan batas kompetensi minimal yang harus dicapai oleh siswa atau peserta didik pada suatu mata pelajaran atau kompetensi dasar tertentu. 

Batas minimal ini di wujudkan dalam bentuk angka atau nilai hasil belajar misalnya 70, 75, atau lainnya.

Diskusi menjadi seru ketika saya memberikan pandangan berbeda dengan arus pandangan umum peserta rapat. Setidaknya ada dua hal pokok yang disampaikan yang menurut saya pada konteks itu tidak tepat adanya. 

Yang pertama adalah soal waktu penetapan KKM. KKM baru mau ditetapkan menjelang rapat kenaikan kelas. Padahal KKM idealnya ditetapkan di awal tahun ajaran dan disampaikan kepada siswa sebagai "kontrak belajar". Tujuannya tidak lain agar siswa dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik karena menyadari ada target belajar yang harus dipenuhi. 

Saya menyatakan ketidaksetujuan, karena ini merupakan kebiasaan yang tidak lazim dan jelas bertentangan dengan tujuan dan fungsi KKM.

Yang kedua adalah soal nilai KKM. Nilai KKM sebelum terbitnya panduan penilaian hasil belajar dan pengembangan karakter pada SMK ditentukan dengan prosedur tertentu dan mempertimbangkan 3 indikator, yaitu intake siswa, daya dukung, dan kompleksitas materi. Dengan menggunakan skala tertentu, nilai KKM kompetensi dasar dan KKM mata pelajaran ditentukan. 

Namun setelah terbitnya panduan penilaian tersebut yang diikuti oleh terbitnya edaran direktur pembinaan SMK tanggal 17 Januari 2019, maka semua SMK di Indonesia baik negeri maupun swasta wajib menggunakan panduan penilaian hasil belajar dan pengembangan karakter pada SMK tersebut. Perintah tersebut tegas sebagaimana tertulis pada point 5 surat edaran direktur pembinaan SMK nomor 0820/D5.3/TU/2019.

Salah satu perubahan mendasar pada panduan tersebut adalah soal penetapan nilai KKM. Dalam hal ini KKM tidak lagi dihitung berdasarkan kriteria atau indikator tertentu sebagaimana sebelumnya. Tetapi sudah ditetapkan dengan batasan sebagai berikut: untuk mata pelajaran adaptif dan normatif nilai KKM adalah 60. Sedangkan untuk mata pelajaran kejuruan adalah 65 (Panduan penilaian SMK hal.56)

Nah, disinilah debat seru yang memunculkan diksi idealisme itu muncul. Saya mengingatkan peserta rapat agar tidak perlu menetapkan KKM baru, karena KKM sudah ditetapkan oleh pemerintah. Apalagi sudah ada ketegasan dari bapak direktur soal kewajiban mengikuti panduan. Namun anehnya saran tersebut mendapat perlawanan cukup keras. 

Perlawanan tersebut didasarkan pada kekhawatiran jika KKM 60 dan 65 dijadikan patokan.  Setidaknya ada empat masalah atau tantangan yang dapat muncul dengan KKM yang dipandang rendah itu, yaitu:

  1. Jika mengikuti KKM 60 dan 65 dikhawatirkan nilai siswa akan rendah. 
  2. Jika nilai siswa rendah, maka siswa akan mengalami masalah ketika masuk perguruan tinggi. 
  3. Masa depan siswa akan terganggu karena tidak dapat mendaftar pada jabatan tertentu yang mensyaratkan nilai minimal 70, 75, atau 80.
  4. Nama baik sekolah akan jatuh, dan seterusnya

Mengapa nilai siswa bisa rendah dengan KKM 60 dan 65? karena kecenderungan guru memberikan nilai mengikuti KKM yang ada. Dari diskusi ini akhirnya kita menjadi paham bahwa KKM tidak lagi semata-mata menjadi batas minimal pencapaian kompetensi. Tetapi lebih dari itu, KKM telah bertranformasi menjadi instrumen "pendongkrak" nilai siswa. 

Kompetensi tidak lagi penting, yang penting adalah nilainya tinggi. Maka jadilah jorjoran penetapan nilai KKM yang setinggi-tingginya. Nilai KKM yang tinggi bahkan menjadi semacam representasi mutu sekolah. 

Sekolah yang tinggi KKM nya berarti sekolah yang bermutu. Sementara sekolah yang KKM nya rendah dianggap kurang bermutu.

Usaha untuk mempertahan pandangan tentang pentingnya mengikuti panduan penilaian yang baru, justru dianggap terlalu ideal. Seorang rekan bahkan mengatakan "Idealnya memang mengikuti aturan, tapi kenyataannya itu tidak dapat diterapkan. 

Kalau diterapkan maka nilai siswa akan rendah, dan seterusnya akan berdampak pada penilaian mutu sekolah".  

Ya, bersikap ideal menjadi masalah. Padahal sikap ideal merupakan perwujudan prinsip dan pandangan untuk selalu hidup berdasarkan patokan yang dianggap sempurna. Visi pendidikan, bahkan visi sekolah dibuat dengan tujuan yang sangat ideal. 

Sekolah sendiri pada hakekatnya adalah lingkungan yang direkayasa agar memenuhi aturan dan tujuan ideal. Oleh sebab itu, sekolah dilengkapi dengan berbagai perangkat ideal termasuk standar nasional pendidikan. 

Tetapi mengapa ketika idealisme ditumbuhkan justru menjadi masalah? 

Kenyataan ini seharusnya menyadarkan kita bahwa rumusan pendidikan yang ideal sebagaimana yang telah rancang oleh pemerintah, belum tentu dapat diimplementasikan secara baik pada level satuan pendidikan, mengingat banyaknya variabel lain yang turut mempengaruhi pelaksanaannya, terutama kepentingan praktis pragmatis untuk memperoleh status dan predikat tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun