Mohon tunggu...
Heilin Alber
Heilin Alber Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa pada Universitas Muhammadiyah Surakarta, saat ini sedang menempuh program studi sarjana manajemen.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Antara Efisisensi dan Keadilan, Analisis Dampak Kebijakan Pelarangan Distribusi Gas LPG 3KG Terhadap Masyarakat dan Ekonomi

17 Februari 2025   13:30 Diperbarui: 17 Februari 2025   11:41 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelangkaan gas LPG 3 kg yang melanda berbagai daerah seperti Yogyakarta, Bantul, dan Jakarta akhir-akhir ini bukan sekadar masalah teknis distribusi, melainkan cerminan kegagalan kebijakan energi yang bertabrakan dengan prinsip dasar ekonomi. Kebijakan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang membatasi penjualan LPG 3 kg ke pengecer dan memangkas kuota subsidi pada 2025 telah memicu krisis multidimensi. Fenomena ini tidak hanya mengganggu stabilitas pasokan energi rumah tangga, tetapi juga menguji ketahanan ekonomi mikro, khususnya bagi UMKM dan masyarakat berpenghasilan rendah. Artikel ini akan menganalisis fenomena ini melalui lensa teori kelangkaan, intervensi pemerintah, serta prediksi dampak ekonomi dan sosial ke depan, dengan merujuk pada berbagai jurnal penelitian dan teori ekonomi terkait.

Kebijakan Bahlil yang melarang agen resmi Pertamina menjual LPG 3 kg ke pengecer sejak 1 Februari 2025, dengan dalih mengontrol Harga Eceran Tertinggi (HET), justru memicu kelangkaan yang lebih parah. Padahal, menurut teori ekonomi klasik, kelangkaan terjadi ketika sumber daya terbatas sementara kebutuhan tidak terbatas. Dalam kasus ini, kuota subsidi untuk tahun 2025 dipangkas sebesar 1,5% (407.555 MT) dibandingkan realisasi tahun 2024 (414.134 MT), sementara permintaan terus meningkat akibat pertumbuhan penduduk dan ketergantungan UMKM terhadap energi murah.

Kebijakan ini mengabaikan prinsip inelastisitas permintaan untuk barang pokok. Sebagaimana dijelaskan dalam penelitian Dartanto (2013) dalam Energy Policy, LPG 3 kg merupakan barang inelastis bagi masyarakat berpenghasilan rendah, yang tidak memiliki alternatif energi lain yang terjangkau. Akibatnya, ketika pasokan berkurang, masyarakat tidak bisa beralih ke LPG nonsubsidi (12 kg) yang harganya 3-4 kali lebih mahal. Hal ini memicu antrean panjang di berbagai titik distribusi, sementara harga di pasar gelap meroket hingga Rp21.000–Rp55.000 per tabung, jauh melampaui HET resmi yang ditetapkan sebesar Rp18.000.

Kebijakan ini telah menyebabkan 30% pasokan ke agen hilang, memaksa pelaku usaha mikro di Yogyakarta dan sekitarnya mengeluarkan biaya tambahan hingga 40% untuk mencari stok. Banyak warung makan dan pengusaha kecil terancam gulung tikar karena ketidakmampuan menanggung biaya produksi yang melonjak. Kenaikan biaya produksi UMKM ini tidak hanya berdampak pada kelangsungan usaha mereka, tetapi juga berpotensi memicu inflasi sektor informal. Studi yang dilakukan oleh Suryadi et al. (2022) dalam Indonesian Journal of Economics menunjukkan bahwa kenaikan harga energi selalu berkorelasi positif dengan inflasi harga pangan, terutama di sektor mikro.

Selain itu, kesenjangan distribusi yang terjadi antardaerah semakin memperparah situasi. Penelitian Wijaya & Erman (2015) dalam Journal of Energy and Social Studies (JESS) menunjukkan bahwa disparitas harga antardaerah seringkali memicu penimbunan oleh distributor untuk mencari keuntungan maksimal. Data Ombudsman DIY membuktikan bahwa pasokan ke Sleman dan Bantul turun drastis, sementara harga melambung, mencerminkan kegagalan sistem distribusi yang tidak merata.

Kebijakan ini melanggar dua prinsip ekonomi dasar. Pertama, hukum penawaran dan permintaan: Pemerintah memaksa harga tetap rendah (Rp18.000/tabung) sementara biaya distribusi meningkat. Akibatnya, produsen dan distributor mengurangi pasokan, seperti yang dijelaskan dalam teori price ceiling (Mankiw, 2014). Ketika harga ditetapkan di bawah keseimbangan pasar, produsen cenderung mengurangi produksi atau mengalihkan pasokan ke pasar gelap.

Kedua, kegagalan subsidi: Menurut data DPR RI, 45% LPG subsidi justru dinikmati oleh rumah tangga mampu. Alih-alih memperbaiki targeting, pemerintah malah memotong kuota—langkah yang disebut Nevi Zuairina (anggota Komisi XII DPR) sebagai "pemiskinan terselubung". Studi Dartanto (2013) juga menunjukkan bahwa subsidi energi di Indonesia seringkali tidak tepat sasaran, dengan kebocoran yang signifikan ke kelompok yang tidak membutuhkan.

Jika kebijakan ini tidak segera direvisi, beberapa skenario buruk dapat terjadi. Pertama, resesi mikro: UMKM, yang menyumbang 61% PDB nasional, berpotensi mengurangi produksi atau melakukan PHK massal. Hal ini akan memperlambat pertumbuhan ekonomi di tingkat mikro dan meningkatkan angka pengangguran.

Kedua, migrasi ke bahan bakar kotor sehingga masyarakat miskin akan kembali menggunakan kayu bakar atau minyak tanah, yang tidak hanya meningkatkan polusi udara tetapi juga risiko kesehatan. Penelitian Bank Dunia (2021) menunjukkan bahwa peralihan ke bahan bakar kotor dapat meningkatkan kasus ISPA dan penyakit pernapasan lainnya, terutama di daerah pedesaan.

Ketiga, defisit APBN. Meskipun kuota subsidi dikurangi, tekanan untuk menambah subsidi akan muncul akibat kenaikan harga global LPG. Laporan Kementerian ESDM menyebutkan bahwa setiap kenaikan $10/ton harga internasional, APBN harus menanggung tambahan beban sebesar Rp1,2 triliun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun