Ungkapan "Think globally act locally" lahir dalam konteks inklusivitas lingkungan. Khususnya atas keprihatinan para pakar multidisipliner, diantaranya David Brower, Frank Feather, Patrick Geedes, dan Rene Dubos atas problematika lingkungan global yang mengancam kehidupan. Melalui think globally act locally para pakar tersebut mendesak setiap individu untuk turut perduli, memikirkan, serta bertindak dalam mewujudkan visi terkait apa yang harus dilakukan, apa yang sebaiknya tidak dilakukan, dan apa yang seharusnya dikurangi dalam meminimalisir dampak dan penyebab persoalan lingkungan yang buruk bagi dunia melalui act locally. Dalam hal ini act locally ditujukan sebagai seruan bagi setiap individu untuk turut berkontribusi secara aktif dalam mengatasi apa yang dilakukan dari, oleh, dan untuk mereka.
Think globally act locally merupakan pengingat bahwa persoalan global yang ada tidak terlepas dari persoalan-persoalan yang hadir di taraf lokal. Berkaitan dengan persoalan lingkungan, kita juga bagian dari penyumbang persoalan lokal. Berdasarkan pernyataan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada 2020 total produksi sampah nasional Indonesia mencapai angka 67,8 juta ton. Artinya, setiap harinya dari total 270 juta penduduk menghasilkan sekitar 185.753 ton sampah atau dengan kata lain setiap penduduk memproduksi sekitar 0,68 kilogram sampah per hari.
Berdasar pada hal tersebut, kelompok 20 PMM Universitas Muhammadiyah Malang melalui program pendukung peduli lingkungan memberikan edukasi kepada anak-anak Panti Asuhan Akhlaqul Kharimah untuk menumbuhkan kesadaran bahwa isu lingkungan merupakan isu krusial yang memerlukan keperdulian bersama sekaligus menggandeng anak-anak panti menjadi bagian dari Agent of Change dalam aksi peduli lingkungan tersebut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI