Mohon tunggu...
I Gede Jordhi Bagus Saputra
I Gede Jordhi Bagus Saputra Mohon Tunggu... Mahasiswa

Gamer

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Kabur Aja Dulu?" Bukan Solusi, Tapi Sinyal Bahaya

9 Juli 2025   11:19 Diperbarui: 9 Juli 2025   10:41 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi digital remaja tertekan dengan teks "Kabur Aja Dulu?", dibuat dengan bantuan AI (DALL*E, OpenAI). 

Oleh: I Gede Jordhi Bagus Saputra, Pendidikan Matematika, Universitas Pendidikan Ganesha

Pernah dengar ungkapan "kabur aja dulu"? Sebagian besar generasi muda zaman sekarang, seruan itu bukan hanya lawakan atau gurauan belaka. Itu adalah bentuk pelarian dari kenyataan yang bikin pusing kepala. Mau itu tugas kuliah yang numpuk, keluarga yang penuh tekanan, relasi yang rumit, atau masa depan yang terasa kabur, semua bikin kita ingin lari. Tapi lari ke mana?

Ungkapan ini memang terdengar lucu. Tapi kalau kita gali lebih dalam, ini adalah gejala dari masalah besar yang sedang terjadi: kesehatan mental generasi muda Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Kenapa Ini Jadi Masalah Serius?

Menurut data Kementerian Kesehatan tahun 2023, sekitar 1 dari 3 remaja di Indonesia mengalami gejala kecemasan, stres berat, hingga depresi. Tapi sayangnya, banyak yang tidak tahu harus cerita ke siapa, dan lebih banyak lagi yang takut dianggap "lemah" kalau bicara soal perasaannya.

Berbicara mengenai mental health masih dianggap tabu. Banyak yang memilih diam, pura-pura kuat, atau menertawakan luka sendiri lewat meme dan candaan. Tapi luka yang didiamkan terlalu lama bisa berubah jadi bahaya. Banyak kasus gangguan mental yang tak tertangani berujung pada putus sekolah, konflik keluarga, bahkan keinginan mengakhiri hidup.

Masalah mental itu kayak gunung es. Di permukaan, terlihat biasa. Tapi di dalam, bisa membahayakan. Ketika generasi muda lebih memilih menghindar daripada menghadapi masalah, kita kehilangan potensi besar. Kalau dibiarkan, ini bukan cuma soal individu, tapi bisa jadi bom waktu sosial.

Kita butuh tempat aman, ruang bicara, dan sistem yang benar-benar peduli. Bukan cuma disuruh "sabar" atau "sholat aja dulu", tapi didengarkan dan dibantu secara nyata.

Saatnya Nilai-Nilai Pancasila Turun Gunung

Pancasila sering dibahas dalam kelas-kelas PPKn atau upacara hari Senin. Tapi jarang yang benar-benar membumikannya dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, justru di tengah masalah seperti ini, Pancasila bisa jadi penolong. Misalnya:

  • Ketuhanan yang Maha Esa Kita semua butuh pegangan, tapi juga butuh ruang spiritual yang menenangkan, bukan menakut-nakuti. Sila ini mengajarkan pentingnya harapan, ketenangan batin, dan kepercayaan bahwa hidup ini punya makna, tapi juga mengajak kita untuk tidak menghakimi orang yang sedang kehilangan arah.
  • Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Mengakui bahwa mental health itu hak semua orang, bukan aib. Semua orang punya hak atas kesehatan mental yang layak. Tidak boleh ada diskriminasi, apalagi menyebut penderita gangguan mental sebagai "orang gila".
  • Persatuan Indonesia Ayo bangun lingkungan yang saling dukung, bukan saling menghakimi. Lingkungan sosial yang suportif akan membuat orang merasa diterima. Tidak ada lagi perundungan, ejekan, atau tekanan sosial yang memperparah kondisi mental.
  • Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan Pemerintah wajib dengerin suara anak muda soal masalah ini. Misalnya dengan membuat kebijakan yang melibatkan suara anak muda, karena mereka yang paling tahu apa yang mereka butuhkan.
  • Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Semua orang, dari kota sampai desa, harus bisa akses bantuan psikologis yang layak. Layanan konseling dan edukasi mental harus tersedia di seluruh Indonesia, tidak hanya di kota besar atau sekolah elit.

Daripada terus menerus menyalahkan generasi muda yang "lemah" atau "baperan", kenapa kita tidak mulai dengan menyediakan ruang untuk bicara dan didengar? Biar "kabur aja dulu" nggak jadi slogan hidup, ini beberapa usulan yang bisa dilakuin:

  • Masukkan Edukasi Mental di Sekolah dan Kampus Bukan cuma pelajaran Matematika dan Bahasa, tapi juga pelajaran tentang emosi, stres, cara ngadepin gagal, dan mengenali diri sendiri. Ini penting banget! Bayangkan kalau sejak SMP kita diajari cara mengelola emosi, mengenal stres, atau menghadapi kegagalan. Anak-anak akan lebih siap menghadapi tantangan hidup. Ini bisa jadi modul wajib atau disisipkan dalam pelajaran Pendidikan Pancasila.
  • Sediakan Layanan Konseling yang Aksesibel Setiap sekolah dan kampus harus punya konselor yang bukan sekedar profesi. Anak muda butuh tempat curhat yang aman dan profesional. Konseling bukan hanya untuk anak bermasalah. Justru semua orang butuh didengarkan. Pemerintah bisa mewajibkan sekolah dan kampus menyediakan konselor profesional, bukan cuma guru BP.
  • Kampanye Anti-Stigma Kesehatan Mental Bantu masyarakat sadar bahwa minta bantuan itu bukan lemah. Ajak tokoh publik, influencer, atau artis buat bicara jujur soal pengalaman mereka. Beri mereka pelatihan atau edukasi bahwa bicara soal mental health itu normal. Kita harus ciptakan budaya terbuka, bukan budaya menghakimi.
  • Bangun Platform Digital Pendukung Banyak anak muda lebih nyaman curhat di media sosial atau bahkan dengan AI. Maka dari itu, bikinlah platform digital (aplikasi atau website) yang aman dan anonim untuk curhat, tanya psikolog, atau sekadar ngobrol tanpa takut di-screen shot dan disebar.

Bayangkan kalau semua solusi ini dijalankan. Mungkin generasi muda Indonesia tidak perlu lagi "kabur". Mereka bisa berdiri tegak dan berkata, "aku nggak baik-baik aja... dan itu nggak apa-apa."

Karena yang mereka butuhkan bukan nasihat panjang, tapi rasa aman untuk jujur, dan sistem yang mendukung mereka bangkit kembali.

Pancasila bukan sekadar lambang di dinding kelas. Tapi harus hidup dalam cara kita memperlakukan satu sama lain. Harus hadir dalam kebijakan, percakapan, bahkan di ruang-ruang digital tempat anak muda mencari arti hidupnya.

Mari kita bantu teman-teman kita, adik-adik kita, diri kita sendiri agar tidak lagi perlu "kabur". Tapi berani hadapi, bareng-bareng.

Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang peduli bahkan pada luka yang tak terlihat.

Dan semoga, suatu hari nanti, kalimat "kabur aja dulu" bukan lagi jadi pilihan.
Tapi cuma nostalgia, bahwa dulu kita pernah takut, tapi sekarang kita berani menghadapi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun