Mohon tunggu...
Azkia Fajrin Fauzia
Azkia Fajrin Fauzia Mohon Tunggu... Mahasiswa

Belum pandai menulis tetapi masih akan diusahakan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dilema Fiskal Pemerintah Indonesia: Defisit Anggaran atau Program Prioritas

24 Agustus 2025   21:10 Diperbarui: 24 Agustus 2025   21:10 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah Indonesia tengah menghadapi tantangan fiskal yang kompleks dalam menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) untuk tahun 2026. Di satu sisi, pemerintahan baru di bawah presiden terpilih Prabowo Subianto berkomitmen pada delapan agenda prioritas yang membutuhkan alokasi dana besar, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun, di sisi lain, defisit harus tetap dijaga di bawah 3%  dari PDB sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Konflik antara konsolidasi fiskal dan pembiayaan program prioritas ini menjadi pusat perhatian, terutama dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang belum pasti.

Dilema Fiskal dan Target Pertumbuhan yang Optimis

Anggaran negara menjadi kunci utama dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, yaitu mencapai 5,12% pada kuartal kedua 2025. Saat ini, pemerintah menargetkan defisit anggaran 2026 antara 2,48%-2,53%  dari PDB dan meningkatkan alokasi program prioritas seperti MBG sebesar Rp 300 triliun. Lembaga riset Indef menyatakan bahwa target pertumbuhan ekonomi 5,2%-5,8% untuk 2026 dinilai terlalu optimis mengingat IMF dan Bank Dunia memproyeksikan angka lebih rendah, yakni sekitar 4,7%-4,8%. Jika target tersebut tidak tercapai, pemerintah terpaksa harus memotong belanja atau menambah utang. Hal tersebut berpotensi mengancam, stabilitas fiskal jangka panjang.

Efisiensi vs Keadilan dalam Program Sosial

Program MBG menuai kritik terkait efisiensi dan potensi korupsi. Anggota DPR khawatir anggaran besar ini akan memicu terjadinya moral hazard, yaitu kondisi saat masyarakat menjadi tergantung pada bantuan pemerintah dan kurang termotivasi untuk mencari pendapatan. Selain itu, alokasi dana untuk MBG berisiko menyebabkan crowding out terhadap program sosial lain, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) atau bantuan pangan. Di sektor pendidikan dan kesehatan, meskipun anggaran besar telah dialokasikan, yakni sebesar Rp 727-761 triliun untuk pendidikan dan Rp 181-228 triliun untuk kesehatan, tetapi hasilnya masih perlu dipertanyakan. Dari hasil PISA 2022 menunjukkan siswa Indonesia tertinggal dari rata-rata OECD. Hal tersebut menandakan bahwa selain meningkatkan jumlah anggaran, pemerintah juga perlu memperbaiki kualitas implementasi dan tata kelola.

Reformasi Pajak yang Terhambat

Pemerintah berupaya meningkatkan rasio pajak melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, langkah seperti menaikkan tarif PPN menjadi 12% dibatalkan karena muncul kekhawatiran politik dan penurunan daya beli masyarakat. Pajak karbon juga tertunda akibat ketidakmatangan regulasi dan kekhawatiran dampak ekonomi. Upaya lain seperti integrasi NIK-NPWP dan memperluas basis pajak dinilai kurang efektif dibandingkan dengan menaikan PPN atau menerapkan pajak karbon.

Kesenjangan Pendanaan Infrastruktur dan Peran Ganda BUMN

Kebutuhan investasi infrastruktur 2025-2029 mencapai Rp 10.302 triliun, tetapi realitanya anggaran negara hanya mampu membiayai 40%  dari kebutuhan. Mengatasi masalah tersebut, pemerintah mengandalkan skema non-anggaran seperti Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dan Hak Pemanfaatan Terbatas (HPT). Selain itu, transparansi dan tata kelola yang kuat juga diperlukan untuk menghindari risiko fiskal. Namun, selain menghadapi masalah kebutuhan investasi, BUMN juga tengah menghadapi dilema yaitu harus profitable tetapi juga disertai menjalankan misi pembangunan.

Peran ganda BUMN tersebut menyebabkan timbulnya penolakan serikat pekerja PLN dan Pertamina terhadap restrukturisasi dan IPO anak perusahaan. Jika permasalahan tersebut tidak bisa dikelola dengan baik, peran ganda BUMN akan menghambat efisiensi dan memperburuk beban keuangan negara.

Eksternalitas Negatif dan Solusi Transportasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun