Di luar ruang rapat kementerian, suara publik penuh kekecewaan. Komentar warganet di media sosial tak sedikit yang bernada getir: "Iuran naik, pelayanan bintang 1."Â Ada pula yang menuding, "Saking sudah bingungnya pajak apa lagi yang mau ditarik, akhirnya BPJS dinaikkan."
Dalam konteks ini, kenaikan iuran bukan lagi sekadar soal angka, melainkan soal kepercayaan. Publik khawatir, meski iuran bertambah, mutu layanan tetap stagnan.
Pemerintah memang menanggung PBI, tetapi apakah itu cukup? Pertanyaan soal keadilan tetap mencuat. Pekerja informal, petani, dan pedagang kecil, apakah mereka benar-benar terlindungi?
Profesor Bambang Brodjonegoro pernah menekankan bahwa jaminan sosial tidak hanya soal risk pooling, tetapi juga income redistribution. Jika beban tidak dibagi proporsional sesuai kemampuan, kebijakan justru bisa memperlebar jurang ketidakadilan.
Risiko Death Spiral dan Moral Hazard
Kenaikan iuran tanpa reformasi menyeluruh justru berisiko menciptakan death spiral. Peserta sehat merasa iuran terlalu mahal untuk manfaat yang minim, lalu memilih keluar. Akhirnya hanya tersisa kelompok berisiko tinggi yang membutuhkan layanan intensif, sehingga biaya justru makin membengkak.
Masalah moral hazard juga mengintai. Peserta merasa tak perlu menjaga kesehatan karena semua ditanggung, sementara rumah sakit bisa saja mendorong layanan berlebihan untuk memperbesar klaim. Seperti diingatkan Joseph Stiglitz dan Jonathan Gruber dalam kajian ekonomi publik, asuransi sosial rentan terhadap excess demand bila insentif tidak diatur dengan hati-hati.
Jalan Keluar
Kenaikan iuran tidak perlu ditolak mentah-mentah, sebab iuran sehat memang syarat keberlanjutan JKN. Tetapi masyarakat menuntut kontrak sosial baru yang lebih jelas.
Mereka ingin standar layanan minimum yang terukur, misalnya antrean tidak lebih dari dua jam, ketersediaan obat esensial minimal 95%, dan tenaga medis merata hingga ke pelosok. BPJS juga harus memangkas birokrasi klaim lewat digitalisasi penuh, sehingga efisiensi meningkat dan kebocoran dana berkurang.
Lebih jauh lagi, pencegahan harus menjadi prioritas. Alokasi dana jangan hanya terkuras untuk penyakit katastropik, tetapi juga diarahkan pada pemeriksaan rutin dan promosi kesehatan. Dan yang tak kalah penting, transparansi total. Rakyat berhak mengetahui ke mana iuran mereka mengalir, melalui laporan keuangan yang sederhana, mudah dipahami, dan diaudit independen.