Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Penerbangan Sipil Menghadapi Zona Konflik

18 April 2024   08:29 Diperbarui: 20 April 2024   07:36 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Investigasi pesawat sipil MH17 yang tertembak di zona konflik (sumber gambar: AP )

Dunia tidak bisa melupakan insiden jatuhnya pesawat penumpang Malaysia Airlines MH17 pada 17 Juli 2014 akibat tertembak roket atau peluru kendali di wilayah Ukraina. Saat itu warga dunia berkabung dan berdoa bagi ratusan korban penumpang pesawat MH17 yang berasal dari berbagai negara. Insiden MH17 menimbulkan ketegangan baru antara Ukraina dan Amerika Serikat disatu sisi dengan Rusia dan pemberontak pro-Rusia di Ukraina.

Waktu itu dunia bersimpati yang dalam kepada entitas penerbangan Malaysia yang secara beruntun mengalami musibah besar. Yakni insiden MH17 dan kasus sebelumnya yang menimpa MH370 yang diduga jatuh di Samudera Hindia. Ada hikmah yang sangat berharga dibalik musibah MH17 dan MH370. Hal itu juga menyadarkan semua pihak bahwa pengaturan lalu lintas (lalin) udara dimuka bumi sekarang ini masih mengandung persoalan serius.

Pengaturan dan pengawasan lalin udara di suatu negara menjadi masalah serius. Sungguh ironis jika ada pesawat komersial yang melewati zona perang. Mestinya perusahaan penerbangan dan lembaga penerbangan sipil dunia memberikan perhatian serius dan melarang awak pesawat sipil memasuki zona peperangan. Apalagi kasus penembakan pesawat terbang di Ukraina dan penyerangan terhadap lapangan terbang sebelumnya sudah sering terjadi.

Bagi bangsa Indonesia, musibah kedua pesawat MH tersebut merupakan pelajaran yang amat penting terkait dengan sistem lalin udara dan kondisi infrastruktur yang berfungsi menjaga dan mengawasi wilayah negara. Khususnya terkait dengan optimasi dan kinerja infrastruktur radar nasional, baik yang dimiliki oleh sipil maupun militer.

Seperti diketahui, zona Selat Malaka dan Laut Cina Selatan telah ditempatkan banyak radar milik TNI dan juga milik Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Publik berharap infrastruktur radar yang jumlahnya hingga puluhan terletak diujung barat kepulauan Indonesia itu tidak mengalami kendala operasional. 

Pentingnya segera mengevaluasi terkait dengan optimasi dan kendala operasional radar. Serta pemenuhan SDM atau tenaga ahli. Selain itu perlu mengintegrasikan radar, terutama milik militer. Saatnya mewujudkan sistem radar nasional yang bisa menampilkan sistem dengan satu layar besar untuk seluruh radar militer dan sipil di Indonesia.

Radar milik TNI dan kementerian teknis harus bisa dioptimalkan penggunaannya selama 24 jam untuk menjaga wilayah RI. Alutsista radar TNI jenis Thomson tipe TRS 2215R (Reflector) selama ini telah ditempatkan di sepanjang garis pantai Pulau Sumatera menghadap Selat Malaka, antara lain di Sabang, Lhokseumawe, Sibolga, dan lain-lain. Begitu juga ada radar yang ditempatkan di Ranai Pulau Natuna yang bisa memonitor wilayah udara di sekitar Laut Cina Selatan.

Musibah transportasi udara semakin menyadarkan banyak pihak pentingnya terus menerus membenahi infrastruktur transportasi udara. Termasuk menyempurnakan sistem lalu lintas udara nasional dan regional yang diantaranya adalah kinerja radar. Selama ini usaha optimasi itu terkendala masalah klasik. Yakni masalah daya dukung SDM teknologi. 

Pentingnya mengatasi tumpang tindih dan kondisi disergi terkait dengan infrastruktur nasional untuk mengawasi wilayah laut dan udara. Perlu sinergi sistem udara dan kelautan nasional dan jangan terjadi tumpang tindih. Yakni antara Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI, dan Kementerian Perhubungan. 

Meskipun sudah ada garis yang tegas dimana KKP merupakan institusi resources based yang bertanggungjawab terhadap kelangsungan sumber daya kelautan. Kementerian Perhubungan merupakan institusi safety based yang bertanggungjawab terhadap keselamatan lalu lintas di laut dan udara. 

Sedangkan TNI merupakan institusi security based yang bertanggung jawab terhadap keamanan wilayah. Ketiga eselon tersebut pada dasarnya bertugas mengelola dan melakukan pengawasan terhadap kapal laut, pesawat udara dan atau sumber daya alam. Dalam tugasnya masing-masing lembaga memasang peralatan surveillance berupa Radar, AIS (Automatic Identification System) Receiver, kamera jarak jauh, dan peralatan lain di sebuah stasiun radar pantai.

*) Penulis Anggota Indonesia Aeronautical Engineering Center (IAEC)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun