Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mental "Ganti Menteri Ganti Kebijakan" di Negeri Kita

16 Juni 2017   07:31 Diperbarui: 16 Juni 2017   20:51 6629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Radar Pekalongan

Ungkapan para antagonist kebijakan di negeri kita, Indonesia, adalah “Bila ganti Menteri, maka akan ganti kebijakan”. Hal ini sangat umum didengar oleh kita atas perubahan arah politik yang diawali oleh pemilu. Ini normal. Setiap aras politik memiliki mimpi sendiri dalam meneguk simpatik rakyatnya. Masalah mimpi itu rasional atau tidak, itu masalah lain. Masalah mereka laksanakan atau tidak, banyak alibi untuk mengelaknya.

Salah satu komponen hasil politik pemilu adalah mengganti menteri. Menteri yang sangat berpengaruh dalam kebijakan rakyat banyak adalah menteri keuangan/ekonomi, menteri kesehatan dan menteri pendidikan

Dalam konteks perubahan kebijakan, semua menteri memiliki kecenderungan yang sama untuk merubah arah kebijakan masing-masing kementeriannya. Mereka memiliki visi misi yang harus mengacu kepada keinginan presiden sebagai bosnya. Namun, menurut saya, kementerian yang sangat berpengaruh adalah kementerian pendidikan (dan kebudayaan, kemendikbud).

Kemendikbud bisa jadi kementerian yang paling sering mendapatkan sorotan “ganti menteri, ganti kebijakan”. Kementerian ini pula yang sering mendapatkan pro dan kontra dalam kehidupan bernegara kita. Kementerian ini adalah satu-satunya lembaga yang mengurus semua rakyat Indonesia, karena tidak ada satupun manusia Indonesia yang luput dari dunia pendidikan, mulai dari anaknya sampai orang tuanya. Maka, tidak heran kemdikbud sering dikritik apabila ada perubahan mindset kependidikannya.

Tujuan dari “mental” ganti menteri ganti kebijakan bisa jadi adalah sangat baik. Itu disesuaikan dengan perkembagan kehidupan manusia yang beragam. Bisa jadi alasan-alasan itu sangat membaikan bagi bangsa, karena kita tahu orang di kemdikbud adalah orang-orang hebat dan pilihan. 

Alasan pergantian kebijakan bisa jadi karena: (1) perkembangan kehidupan global, (2) masalah serius anak bangsa, (3) kompetisi dunia, (4) tambal sulam kelemahan sistem sebelumnya, (5) peningkatan kualifikasi dan kompetensi, (6) fokus politik pemenang pemilu, dan (7) distingsi kebijakan dari kebijakan yang lama.

Dampak yang diakibatkan oleh mental ini berarah kepada banyak elemen bangsa, atau hampir semua komponen bangsa. Mereka yang sering kena dampaknya adalah: (1) guru sebagai ujung tombak pendidikan, (2) siswa sebagai subjek pembelajaran, (3) sekolah sebagai pengelola satuan pendidikan, (4) orang tua siswa sebagai wali pendidikan, dan (5) Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai pabrik guru. adapun Dinas pendidikan (dan kemenag) serta komponen terdampak dari politik praktis lainnya tidak usah saya sebutkan.

Saya akan sebutkan beberapa kasus mental “ganti menteri ganti kebijakan” seingat saya di negeri ini. (1) pergantian kurikulum yang sering menimbulkan kontroversi. Sesuai dengan ilmu kurikulum sebagai konsep, kurikulum harus berganti minimal lima tahun sekali. Pergantian ini harus melalui proses yang sangat ketat, terutama dalam hal evaluasi kurikulum. 

Pergantian kurikulum harus bersandar kepada hasil evaluasi kurikulum. Idealnya, pergantian kurikulum adalah penyempurnaan kurikulum bukan pergantian kurikulum yang drastis. Persiapan implementasinya harus benar-benar siap, dan perlu uji publik yang benar.

Pertanyaan kita, apakah dari KBK tahun 2004 ke KTSP tahun 2006 sudah berumur lima tahun? Apakah KBK ke KTSP melakukan evaluasi kurikulum? Apakah KTSP ke Kurikulum 2013 (K-13) melalui evaluasi juga? Kenapa K-13 yang usianya sudah 4 tahun itu masih dalam tahap sosialisasi? Kenapa begitu banyak perubahan nama dengan substansi yang sama pada jenis kurikulum tertentu? Apakah ini kontraproduktif dengan kinerja guru yang semakin berat untuk memahami istilah kurikulum yang beragam?

(2) pergantian kebijakan tentang guru. Dulu, guru itu cukup mengikuti kuliah di keguruan dan langsung dapat Akta IV sebagai syahnya diakui guru, sekarang harus melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG) dan itu terbuka untuk umum. Semua lulusan sarjana bisa jadi guru. Dulu, guru di produksi sebanyak-banyaknya dengan tidak melihat linieritas ilmu, sekarang yang tidak linier dicampakan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun