Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Perusahaan Tidak Bertransformasi ke Digital Akan Gulung Tikar

10 Juli 2019   08:45 Diperbarui: 10 Juli 2019   15:27 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Fenomena semakin banyaknya bisnis yang berguguran tidak terlepas dari ketidaksiapan dan ketidakmampuan sejumlah perusahaan untuk segera berpindah ke digital dalam mengelola bisnis. Apabila tidak segera bertransformasi ke digital maka akan semakin banyak lagi yang akan bertumbangan tidak bisa hidup dan gulung tikar

Hanya perusahaan yang mampu menerapkan teknologi digital yang akan tetap bertahan untuk jangka panjang, dan yang masih terus bertahan dengan "gaya tradisional" akan menyingkir dari persaingan bisnis. Dengan demikian, persaingan berpindah pada isu penerapan teknologi digitalisasi.

Genderang disrupsi inovasi di bidang teknologi aplikasi ini bukan baru sekarang didengungkan. Tetapi, pelaku bisnis merasa nyaman dengan status quo selama ini yang di nikmati, sehingga enggan untuk cepat belajar agar bisa berubah. Karena sesungguhnya, perubahan itu sendiri tidak saja tidak nyaman tetapi juga biaya sangat mahal.

Lihat saja bagaimana e-tol diterapkan oleh pengelola jalan tol ketika diterapkan tanpa uang tunai. Protes dimana-mana agar tetap dengan uang tunai saja. Nah, sekarang semuanya sudah berubah. Bahkan e-tol ini juga sudah terintegrasi dengan bisnis lainnya, misalnya bayar parkir, dan kebutuhan lainnya di sejumlah unit bisnis.

Banyak perusahaan yang masih merasa bahwa  masih ada konsumen yang juga tidak memakai digital dalam bertransaksi, dan dengan demikian mereka tidak ada upaya untuk segera berubah ke digital. Ini fatal akibatnya karena bisnisnya pasti akan menemui ajal.

Saya punya pengalaman kecil tetapi sangat mewakili isu transformasi digital pengelolaan bisnis itu.

Pada bulan Januari 2019 yang lalu, seperti biasa saat makan siang ke kantin dan ketika saya membayar saya sodorkan uang 20 ribu rupiah, si penjual mengatakan non tunai pak, harus pake Ovo atau Go-Pay. Saya bilang, maaf saya tidak punya aplikasinya. Penjual bilang semua warung di kantin tidak melayani tunai harus pake aplikasi. Sejak itu saya harus memiliki aplikasi Ovo atau Go-Pay dan yang lain. Saya senang karena tidak bawa-bawa duit tunai dan juga saya dapat ptongan harga yang sangat besar, bahkan ada cashback lagi.

Pengalaman kecil ini mengajarkan kepada semua perusahaan untuk segera transformasi ke digital, karena konsumen sekarang sudah menggunakan aplikasi untuk transaski. Konsumen sekarang kalau pergi belanja, akan tanya ke pelayan toko apakah disini boleh pakai bayar aplikasi atau tidak? Kalau toko bilang tidak bisa, maka sangat mungkin konsumen akan pergi mencari toko lain. Dan lebih parah lagi, dia tidak akan pernah mampir ke toko itu karena tidak menerima pembayaran digital.

Apakah Anda melihat kehebatan dari 4 perusahaan Unicorn Indonesia yang dalam waktu sangat singkat menjadi orang-orang muda generasi milenial Indonesia masuk dalam daftar 150 orang terkaya Indonesia tahun 2018

Alasan utamanya adalah karena bisnis yang mereka kelola adalah berbasis aplikasi. Lihat saja Traveloka, Tokopedia, Bukalapak, dan Go-Jek. Semuanya memiliki nilai aset diatas 1 miliar dollar AS. Dan dari hari ke hari akan terus bertumbuh bagaikan deret ukur dan tanpa batas.

Kedepan bisnis model seperti ke 4 Unicorn Indonesia inilah yang akan menjadi referensi utama dalam mengelola bisnis, dalam segala bentuk. Pun berbagai organisasi akan menerapaknya dengan cara seksama dan dalam waktu yang se singkat-singkatnya. Kalau Anda tidak percaya, mari kita lihat dan buktikan 5 tahun dari sekarang.

Transformasi ke teknologi digital dalam mengelola bisnis, tidak hanya berlaku untuk unit usaha kecil dan menengah saja atau UMKM, tetapi sesungguhnya juga untuk semua unit bisnis, besar atau kecil, manufaktur atau jasa, pendidikan atau perhotelan, semuanya membutuhkan teknologi digital.

Kalau hendak mencari pembenaran yang sangat mendasar dan menentukan, mari melihat apa yang sedang terjadi di market atau pasar. Mengapa pasar? Karena siapapun yang mengelola bisnis maka tujuannya adalah pasar. Pasar artinya konsumen. Konsumen yang akan di sasar sebagai "pembeli" produk atau jasa yang di tawarkan oleh perusahaan. Perusahaan mau agar konsumen mau membeli, bukan sekali tetapi berkali-kali, bahkan mau agar konsumen loyal seumur hidupnya.

Dinamika industry 4.0 dan era disrupsi inovasi teknologi telah mengubah pola konsumen untuk berbelanja saat ini. Ketika produk atau jasa yang tersedia begitu banyak ragam pilihannya dengan kualitas yang hampir sama, maka konsumen akan memutuskan membeli dengan kemudian dalam transaksi dan dengan harga dan fasilitas lainnya yang tersedia.

Tidak bisa dipungkiri bahwa market Indonesia saat ini di dominasi oleh generasi milenial dan bukan lagi generasi old.

Data statistick memperlihatkan bahwa 80 juta orang atau sekitar 1/3 populasi Indonesia adalah milenial yang usianya sekitar 22 sampai dengan 37 tahun. Bahkan diperkirakan ada sekitar 50% pemilih ketika Pilpres 2019 berlangsung pada April yang lalu.

Jumlah generasi milenial ini akan terus meningkat secara signifikan. Itulah sesungguhnya mengapa Indonesia dianggap sangat beruntung dengan "bonus demografi" yang dimilikinya. Dan diperkirakan mulai tahun 2030 hingga 2045 populasi Indonesia akan terdiri dari sekitar 90% adalah generasi usia muda produktif.

Kalau saja saat ini ada sekitar 80 juta generasi milenial, maka target pasar dari perusahaan adalah angka ini. Mereka semua adalah termasuk dalam generasi yang sangat digital oriented. Semua aktivitas hidup mereka, mulai dari bangun pagi hingga tidur di malam hari, menggunakan aplikasi.

Bukan lagi dipersoalkan mengapa begitu dan mengapa begini, tetapi itulah realitas bisnis yang harus dihadapi oleh perusahaan yang mau tetap hidup seterusnya. Harus mengubah dan transformasi ke digital.

Mengapa masih sangat banyak perusahaan yang masih tidak mau berubah ke digital?

Inilah persoalan yang dihadapi oleh dunia bisnis di Indonesia saat ini. Kalau mau cepat berubah, maka harus ada upaya untuk mendorong setiap unit bisnis segera berpindah ke digital.

Tentu saja yang utama adalah kesadaran yang tinggi dari setiap pengelola bisnis, bahwa era industri 4.0 dan digitalisasi tidak bisa dihindari lagi. Dan dengan demikian, mendorong dia untuk memikirkan untuk segera berubah.

Perubahan utama adalah mengubah model bisnis yang dijalankan dengan berbasis pada digital atau aplikasi sesuai jenis usaha dan kebutuhan jangka panjang. Tanpa perubahan model bisnis, maka tidak akan menolong banyak, malah akan menciptakan problem baru yang akan selalu muncul bagaikan lingkaran setan tiada ujung.

Merancang aplikasi yang sesuai kebutuhan untuk menopang pelaksanaan model bisnis yang dipilih. Bagian ini sangatlah sulit untuk dikerjakan sendiri. Mau tidak mau harus meminta bantuan para programmer, engeneering dan ahli IT untuk mengerjakannya. Saat ini sudah sangat banyak provider yang tesedia, baik gratis maupun yang berbeli.

Mempersiapkan semua orang dalam perusahaan untuk mengubah mindset, persepsi, perilaku dan dinamika manajemen yang harus mendukung model bisnis yang ditetapkan. Dan dengan demikian perusahaan atau organisasi yang dikelola akan menjadi sebuah yang baru dengan model bisnis yang baru, yang berorientasi kepada pasar yang milenial.

Salah satu contoh bisnis yang cepat bertransformasi adalah yang dilakukan oleh seorang generasi milenial Yoris Sebastian yang menjadi keynote speaker dalam sebuah acara "Digital Transformation Day 2019 Indonesia" yang di selenggarakan oleh sebuah perusahaan asal Jepang yaitu  Abeam Consulting, seperti dilansir dari kompas.com.

https://plus.kapanlagi.com/kisah-nyata-yoris-sebastian-dijamin-bikin-kamu-nggak-patah-semangat-lagi-b18e59.html
https://plus.kapanlagi.com/kisah-nyata-yoris-sebastian-dijamin-bikin-kamu-nggak-patah-semangat-lagi-b18e59.html

 Yoris membagikan kisahnya dalam bertransformasi, mulai dari menjadi General Manager Hard Rock Caf Indonesia pada usia 26 tahun, lalu mendirikan Hard Rock FM pertama di dunia, hingga kini menjadi entrepreneur dan membuat aplikasi Inspigo. "Menurut saya, digital itu harus. Anda juga harus berhati-hati. Maka dari itu, kita butuh strategi. Jika orang-orang membuat aplikasi, saya juga membuat aplikasi, Inspigo. Mengapa Inspigo sebuah aplikasi karena mereka (konsumen) dapat menggunakan sehari-hari dan setiap saat," ujar Yoris.

Apabila perusahaan tidak mau gulung tikar, atau mungkin tidak gulung tikar tetapi megap-megap antara hidup dan mati, maka segeralah berubah, pindah ke digital, gunakan aplikasi dan jalankan bisnis dengan model baru. 

Yupiter Gulo, 10 Juli 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun