Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengukur Kesaktian Pancasila sebagai Perekat Keretakan Bangsa

2 Juni 2019   15:52 Diperbarui: 3 Juni 2019   09:32 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Proses penyelenggaraan pesta demokrasi dalam bentuk Pemilu Serentak 2019, seakan menjadi konfirmasi yang sangat reprsesntatif bagi publik tentang keretakan sosial yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Anak-anak bangsa ini menjadi terbelah dua, antara dua kubu Capres yang bertanding habis-habisan untuk menjadi pemenang.

Bahkan dengan terang benderang, mantan kepala BIN Hendropriyono, ditengah-tengah masa kampanye Capres menegaskan bahwa sesungguhnya yang berkompetisi saat ini adalah bukan Jokowidodo versus Prabowo, tetapi Pancasila versus Khilafah.

Dalam keadaan yang seperti ini, menjadi sangat penting untuk mempertanyakan Pancasila ada dimana? Masih ampuhkah menjadi perekat atas keretakan yang sedang dialami oleh anak-anak bangsa negeri ini? Apa yang sedang terjadi dengan Pancasila kita?

II. Pancasila sebagai Perekat

Harus diakui bahwa sejak terjadinya Reformasi 1998 di negeri ini, ada semacam trauma yang sangat berlebihan dengan semua hal yang berbau rezim orde baru. Bahkan berbagai program terkait Pancasila sebagai dasar negarapun seperti Program P4, seakan-akan tabu dibahas apalagi diteruskan. Jadilah Pancasila itu seakan-akan hanya ada di rak buku saja. Ini sejalan dengan apa yang disimpulkan oleh Yudi Latif dalam artikelnya berjudul Memanjurkan Pancasila di Harian Kompas 31 Mei 20219

Tatkala tenunan sosial robek, kita memerlukan Pancasila sebagai simpul perekat. Namun, apa daya, keberadaan Pancasila saat ini ibarat kitab suci dengan kertas yang rombeng. Dibuang takut kualat, dipakai tak lagi terbaca.
Terlalu lama terpajang sebagai hiasan seremonial, tanpa ketekunan perawatan, membuat Pancasila mengalami pelapukan. Untuk menghentikan proses degenerasi, cara melestarikan Pancasila harus keluar dari tendensi formalisme verbalistik menuju efektivitas operatif.

Nampaknya konklusi yang dibuat oleh Yudi Latif banyak benarnya. Bahkan ketika Presiden Jokowidodo pada dua tahun yang lalu membentuk BPIP, yang diketuai oleh Megawai SP dan Yudi Latif sebagai Pelaksana Hariannya, mendapat tantangan dan penolakan kelompok-kelompok masyarakat. Seakan badan ini tak dibutuhkan. Pada hal tujuannya sangat jelas, agar Pancasila sebagai dasar negara menjadi efektif dalam mengelola kesatuan dan persatuan bangsa dan negera ini.

Pancasila hanya sebgai pajangan saja, artinya tidak lagi pernah dibahas, dikupas, direview dan ditindaklanjutin. Padahal dinamika dan perkembangan yang ada harusnya menuntut kajian Pancasila dalam merelevansikan dengan generasi yang ada, dengan Revolusi Industri 4.0 yang sedang dihadapi, era disrupsi inovasi yang terus terjadi, dan perubahan dunia yang semakin menantang.

Pancasila menjadi pajangan saja, dan itu berarti daya rekatnya untuk menyatukan anak-anak bangsa ini semakin menurun dan tidak mampu merekatkan lagi. Atau memang dorongan yang datang dari luar lebih kuat dari daya rekat yang ada didalam Pancasila.

Sebutkan saja berbagai konflik keagamaan di tengah-tengah masyarakat. Bukan saja kelompok masyarakat yang berbeda kepercayaan atau agama, tetapi didalam satu agama yang samapun muncul konflik yang sering membuat masyarakat menjadi terbelah.

Padahal sila pertama dalam Pancasila itu, Ketuhanan Yang Maha Esa, sangat jelas makna dan pesannya, yaitu "Mengandung nilai saling menghormati antar sesama penganut agama dan tidak mempermasalahkan perbedaan tentang cara beribadah kepada Tuhan."

Pesan ini menolong semua anak-anak bangsa ini bahwa bahwa konflik Agama banyak yang terjadi karena sentimen agama tidak akan terjadi apabila kita memahami secara mendalam tentang Pancasila terutama pada sila pertama karena akan tercipta rasa saling menghormati dan menghargai ketuhanan masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun