Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

LPSK Lebih Optimal dalam Melindungi Saksi

31 Oktober 2018   18:18 Diperbarui: 13 November 2018   18:46 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi saksi bagi korban kecelakaan, kejahatan baik itu kejahatan lingkungan maupun kejahatan kriminal bukanlah hal yang mudah bagi beberapa orang termasuk saya sendiri.

Secara pribadi saya pernah melihat kecelakaan antara sebuah motor dengan mobil ketika saya berada di dalam mobil yang persis di belakang mobil yang dianggap menabrak motor. Saya melihat bahwa kesalahan ada di pihak motor. Korban adalah pemuda yang naik motor.  Kondisi korban meninggal dunia.  Saya pernah membaca Undang Undang Lalu Lintas bahwa  jika korban meninggal, maka yang salah pasti salah adalah pihak yang menabrak.

Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ;

"Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)."

 Meskipun faktanya justru korban itu yang bersalah karena motor itu melanggar lalu lintas dengan berhenti mendadak dan masuk dalam posisi jalan mobil bukan di marka motor.

Namun, kepedulian saya  untuk jadi saksi membela pemilik mobil  bukanlah yang utama bagi saya karena saya  merasakan betapa seorang saksi harus repot sekali datang ke pengadilan. Pengorbanan waktu dan uang itu tidak sebanding dengan apa yang dibelanya.


 Bahkan, seringkali terdapat tekanan dari mereka yang melakukan kesalahan . Dalam konteks di atas , akan terjadi sekelompok  teman korban walaupun salah akan balik menyerang saya.  Atau dalam konteks yang lain  yang salah belum tentu benar, yang benar belum tentu salah, banyak hukum yang dapat diperjual belikan karena  hukum dapat dibeli oleh mereka yang memiliki modal besar atau kekuatan ekonomi yang kuat. 

Sebenarnya, ketakutan dan kekhawatiran jadi saksi sebenarnya tidak perlu terjadi apabila fungsi saksi benar-benar dilindungi oleh lembaga dan Pasal 12 undang-Undang Nomor 31 tahun 2014.

Namun, pada prakteknya perlindungan itu tidak berlaku sama sekali .  Terjadi sebaliknya.  perlindungan itu hanya sekedar bayang-bayang gelap yang pada akhirnya  tetap  berdampak efek psikologis terutama pada kaum akademisi.

Adalah Bambang Hero Saharjo, (Bambang) seorang Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor  dan saksi-saksi ahli lingkungan lainnya yang saat ini sedang menghadapi gugatan balik .  Gugatan balik karena  perbuatan Beliau dianggap melawan hukum . Nilai gugatan cukup fantastis yaitu sebesar Rp.510 miliar di Pengadilan Cibinong oleh  PT.Jatim Jaya Perkasa (JJP).

Awalnya PT. JJP ini sebagai perusahaan perkebunan sawit terlibat dalam kasus pembakaran hutan dan lahan seluas 1.000 hektar . Perusahaan harus membayar ganti rugi sebesar Rp.119,8 miliar dan perbaikan lingkungan seluas 1.000 hekater dengan biaya Rp.371,1 miliar dan dilarang kembali menanam kembali dilahan gambut bekas terbakar.

Namun, ketika keputusan sedang berjalan, tiba-tiba Bapak Bambang sebagai saksi ahli, pakar Kebakaran hutan lahan yang membantu Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK  justru digugat balik oleh PT. JJP.  Dalam gugatannya itu  PT. JJP menemukan celah kelemahan hukum dari bukti Peraturan Menteri Lingkungan.

Regulasi mewajibkan laboratorium lingkungan memiliki sertifikasi akreditasi dan laboratorium IPB belum memilikinya.  Logikanya sebagai institusi , IPB dimana telah menerima akreditasi program studi termasuk di dalamnya sarana dan parasarana kampus.  Tentu hal ini tidak dapat dipisahkan antara IPB sebagai institusi dan Laboratorium sebagai prasarana.  Jika institusi sudah terakreditasi otomatis prasarana pun juga sudah terakreditas.

Di sinilah dampak psikologis dari para saksi yang utamanya adalah cendekiawan atau kaum akademisi.   Mereka jadi takut dan khawatir jika mereka punya idealisme untuk membantu Pemerintah dalam kehancuran pembakaran hutan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, sekarang malah mereka balik digugat masuk penjara.

Bukan hanya efek psikologis ketakutan, tapi juga intimidasi dari para pemilik perusahaan yang notabene pelaku usaha bermodal ekonomi kuat, mereka mampu membayar para birokrat hukum untuk melakukan apa yang mereka minta.

Jika akademisi saja dapat dijadikan kriminalisasi dalam kasusnya, apalagi mereka yang awam dalam soal jadi saksi.  Ketika mereka maju jadi saksi tidak ada bantuan hukum baik itu pengacara atau LBH atau LPSK . Saksi yang awam dalam hukum seharusnya didampingi atau dibantu supaya tidak terjebak dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan hakim.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK):

Sebuah Lembaga negara dengan nama lengkapnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau disingkat dengan nama LPSK.  Dibentuk dan disahkan sebagai lembaga negara pada tahun 2015    sesuai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 .Merupakan Lembaga yang independen , langsung bertanggung jawab kepada Presiden.  Perjalanan panjang selama hampir 10 tahun menyertai LPSK untuk melakukan fungsi dan tanggung jawab dan weweangan utamanya untuk perlindungan saksi dan korban dalam bidang pidana.

Tentu dinamika perubahan sosial, hukum pidana dan pidata telah banyak sekali  perubahannya.   Di hari ulang tahunnya yang ke-10 , sangat mengapresiasi harapan yang besar bagi LPSK untuk mengikuti perubahan besar dalam dinamika sosial itu dengan memperluas cakupan perlindungan perkara.   Bukan hanya perkara pidana saja, namun juga perkara perdata, tata usaha  negara, “whistleblower" dari tempat atau negara lain.   Disamping itu, juga perlu adanya perlindungan bagi penegak hukum yang sudah menjalankan tugas beratnya dan ternyata jadi korban.  Oleh karena itu diberlakukan perlindungan kepada penegak hukum, jaksa, hakim, aparat penegak hukum lainnya seperti US Marshal yang dibentuk pada tahun 1789.

Harapan besar ini tentunya membuat masyarakat dan warga makin terlindungi dari berbagai kekuatan kekuasaan atau intimidasi yang berasal dari pihak yang tak berwenang.

Diharapkan agar LPSK sebagai Lembaga Pendampingan Saksi Korban dapat mendampingi saksi selama menjadi saksi di Pengadilan .  Juga mengusahakan untuk pengesahan Rencana Undang Undang atau payung hukum yang kuat seperti  Strategic Lawsuite Against Public Participation (anti-SLAPP) .  Apabila SLAPP itu sudah selesai, harapan besar agar LPSK memberikan sosialisasi kepada masyarakat yang ingin menjadi saksi agar tidak perlu khawatir lagi karena perlindungannya sangat kuat.

Namun, sebaliknya jika  anti -SLAPP belum selesai, diharapkan LPSK mengikuti perkembangan dan mendukung untuk penanda-tanganan dan pengesahannya.

Gugatan-gugatan balik itu sungguh sangat menakutkan bahkan untuk seorang pembela lingkungan hidup , hal itu menjadi preseden buruk apa gunanya jadi saksi untuk membela negara/kebenaran apabila justru nantinya masa depannya sendiri yang dipertaruhkan

Semoga kriminisasi bagi para saksi baik itu ahli maupun orang awam tidak terjadi lagi, kebenaran harus ditegakkan, jangan jadi saksi jadi korban yang tidak berdosa dan hukum dapat diputar balikkan karena hanya uang dan kekuasaan yang jadi pegangannya.

Dishare ke:

https://www.facebook.com/ina.tanaya/posts/10212676743782327

https://twitter.com/tanaya1504/status/1057597534070140928

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun