Masih menurut Rofiqul Huda, kebijakan luar negeri Indonesia yang demikian terlalu utopis alias idealis. Akibat terlalu idealis, akhirnya malah sengsara sendiri.
Kebijakan luar negeri Indonesia juga cenderung pasifis, tak mau berkonfrontasi dengan negara lain.
Contohnya sistem ekonomi kita yang 'abu-abu'. Mengaku menerapkan sistem ekonomi Pancasila, Indonesia kebingungan dengan ekonominya sendiri.
Pemerintah kita bahkan tercatat pernah tak berdaya mengendalikan harga pasaran minyak goreng yang diproduksi 4 produsen besar di tahun 2022 lalu (kompas.com). Anda tentu masih ingat riuh rendahnya bangsa kita sampai Megawati Sukarnoputri saja mengajak ibu-ibu rumah tangga merebus makanan daripada menggoreng. Itu cuma secuil contoh ketidakmampuan pemerintah kita dalam menjadi regulator yang baik dan tegas.
Ekonomi Pancasila yang digadang-gadang konon menggabungkan sistem ekonomi pasar dan sistem ekonomi terpusat tapi pada kenyataannya ketimpangan ekonomi makin nyata (menurut data Bank Dunia).
Kondisi ekonomi diperparah dengan adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Buktinya Indonesia masih kalah bersih (cuma meraup skor 38) dari Timor Leste yang berhasil meraih skor 41 di tahun 2022 menurut Transparency International (tempo.co).
Alasan terakhir ialah karena sebagian diplomat kurang kompeten, demikian menurut pendapat Rofiqul Huda di Quora.com.
Seperti kita sudah ketahui, urusan yang tidak diserahkan pada ahlinya akan berantakan.
Demikian juga saat sebuah jabatan diisi dengan orang yang kurang menguasai bidang itu.Â
Masih banyak pos duta besar Indonesia untuk negara-negara asing yang diserahkan untuk orang-orang yang bukan diplomat karier sehingga berakibat pada minimnya pencapaian dalam negosiasi-negosiasi penting termasuk akses bagi WNI ke negara-negara tersebut.
Lagi-lagi kita tersabotase diri sendiri dengan 'budaya' kolusi dan nepotisme yang terus saja lestari sampai kini dan dimaklumi hingga level petinggi. (*/)