Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bulan Sembilan Tanggal Sembilan

10 Maret 2019   20:50 Diperbarui: 12 Maret 2019   19:34 1436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

****

Telah setahun lamanya tiada kabar berita tentangmu semenjak pertemuan terakhir kita di malam itu.

Jujur saja aku rindu mendengar suara sendu dan juga tawa manjamu. Dengan sisa tenaga dan harapan yang tersisa, kucoba tunaikan janjiku padamu untuk menjumpaimu di tanah kelahiranmu. Berbekal keyakinan dan rasa cintaku padamu, kudatangi alamat rumah yang engkau berikan padaku.

Sesuai permintaanmu setahun yang lalu dan sesuai janjiku padamu, hari ini, tepat di tanggal sembilan bulan sembilan, aku menjumpai kedua orang tuamu di kampung halamanmu.

Di kaki bukit, di sebuah desa terpencil, di tengah hamparan persawahan yang padinya tengah menguning, di atas bale-bale bambu halaman rumah yang sederhana, aku disambut hangat oleh orang-orang yang mengaku sebagai ayah, ibu, dan adikmu.

Siang menjelang sore, langit terlihat begitu cerah. Setelah meneguk kopi yang disuguhkan oleh ibumu, di hadapan ayah, ibu, dan adikmu, dengan segenap keberanian, kuutarakan niat dan tujuanku datang ke kampung halamanmu.

Di antara semilir angin yang meniup rumpun padi di sawah sempat kutatap wajah ibumu, seorang wanita yang usianya yang sudah terbilang tua, tetapi aku masih menemukan sisa-sisa kecantikan masa mudanya. Wajahnya persis seperti wajahmu yang terlihat begitu cantik alami di mataku saat terakhir kali kita bertemu di bawah sinar bulan purnama setahun yang lalu.

Wanita tua yang wajahnya begitu mirip dengan wajahmu itu sedikit terkejut menatap ke arahku saat kuutarakan niatku untuk melamarmu. Kulihat matanya berkaca-kaca. Sebelum aku sempat menanyakan keberadaanmu pada wanita yang biasa engkau panggil "emak" itu, sambil menahan tangisnya, wanita tua itu bergegas masuk ke dalam rumah meninggalkan aku, adik, dan ayahmu di bale-bale bambu di teras depan rumahmu.

****

Di pusaramu. Di temani adikmu, aku dibawa ke pusara, rumah peristirahatanmu yang terakhir. Kubaca nama yang tertulis di batu nisan itu. Ada namamu tertera di situ.

Dulu engkau pernah bertanya padaku, "Ayah, ajarkan aku arti cinta yang sesungguhnya," dan waktu itu, aku menjawab sekenaku, "Aku tidak bisa mengajarimu arti cinta yang sesungguhnya, karena aku pun sama sepertimu. Aku buta tentang arti cinta itu sendiri. Namun, sebelum engkau mencintaiku, mari kita sama-sama belajar mencintai Tuhan yang menciptakan engkau dan aku. Karena aku tidak ingin menjadi "berhala" bagimu. Aku tidak mau rasa cinta antara makhluk ciptaan itu menjadi dinding penghalang di antara aku dan Tuhanku. Yuk, kita sama-sama belajar mencintai-Nya melebihi apa pun yang ada di dunia ini. Karena aku tahu, Dia Maha Pencemburu. Dia tidak akan pernah mengizinkanku untuk mencintai makhluk ciptaannya melebihi cintaku pada-Nya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun